Mohon tunggu...
Miftahudin
Miftahudin Mohon Tunggu... Swasta -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Mahasiswa Universitas Terbuka

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tukang Pijat Panggilan

7 Januari 2019   18:49 Diperbarui: 7 Januari 2019   18:51 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pagi ini Angin bertiup sepoi-sepoi. Membuat Mata Mbah Surip berangsur-angsur menjadi meredup. Kambing-kambing gembalaannya juga tampak tenang dan ayem mengunyah rumput segar nan gemuk yang  tumbuh di Balai Pertanian. Para penduduk biasa menyebutnya dengan balitan. Balitan milik pemerintah itu membentang luas dan ditanami bermacam macam jenis ubi, bunga, sampai padi berkualitas tinggi. sekeliling kawasan itu dipagari kawat berduri.

Dahulu, hanya Mbah Surip dan Mbah Kasan yang boleh menggembalakan hewan ternaknya di tempat itu, karena pasangan suami-istri ini memang telah dekat dengan pemimpin Balai Pertanian. Misalnya saja Mbah Kasan, pada tiap bulan ia tidak pernah absen membersihkan selokan rumah dan kebun pribadi milik sang pemimpin, apabila suatu saat ada orang lain yang nekat atau secara diam-diam menggembalakan hewan ternak di sana, maka Pak Wayan, pemimpin balitan, yang bertubuh tambun, berkepala botak, dan berjenggot tebal, tak akan segan-segan membawa senapan burung untuk mengusir mereka semua.

Satu orang yang pernah sial terkena pelor burung Pak Wayan, ditembak dari jarak sepuluh meter dan mengenai tepat di bagian kanan kakinya. Orang itu mengerang kesakitan. Ia lalu lari tunggang langgang membawa sabit sambil mencangklongkan karung berisi rumput ke bahunya yang kurus tinggal tulang.

Sejak setahun setelah kepala negara yang baru saja didapuk untuk memimpin negeri ini, Pak Wayan meninggal akibat kecelakaan beruntun. Daihatsu Xenia yang ia kendarai hancur tak berbentuk lagi. 

Pada saat itu Ada sekitar tiga atau empat kendaraan yang beruntun bertabrakan. Tak tahu pasti berapakah jumlah korban dari kecelakaan maut ini, tapi yang pasti, Pak Wayan meninggal seketika di tempat kejadian. Semenjak itulah, orang-orang jadi merasa bebas menggembalakan atau mencarikan rumput untuk hewan ternaknya di balitan.

"Sudah tidak ada lagi yang membawa senapan burung sambil berteriak lantang," ujar para penggembala kepada penggembala lainnya.

Tapi hal itu berbeda buat Mbah Surip. Mbah kesayanganku itu merasa kehilangan bosnya. Mbah Surip juga yang paling kencang menangis saat orang-orang datang melayat di rumah duka. Mbah Surip memelukku erat waktu dirinya menangis. Ketika itu, aku iseng-iseng mengintip dari celah ketiak Mbah, kulihat Bu Wayan dan Mas Agus menangis sewajarnya. Tak berlebihan seperti Mbah Surip. Ibuku juga biasa saja, menghapus air matanya dengan ujung kausnya tanpa mengeluarkan suara. Padahal kalau dipikir-pikir, ibulah yang setiap hari tinggal di rumah itu. Sebab Ibu adalah seorang pembantu di rumah Pak Wayan. Mbah Surip dipanggil hanya jika Pak Wayan atau istrinya minta dipijat atau dikerik.

Mbah adalah dukun pijat paling handal dan terkenal di kampungku. Ada yang menjulukinya dukun serbabisa. Malahan Mbah pernah dipanggil sebagai pawang hujan saat ada hajatan pernikahan. Mbah sangat handal menyembuhkan kaki orang yang keseleo, tapi Mbah tak pernah mampu menghilangkan nyeri di kaki kiriku yang pincang ini. Tetapi, walaupun begitu, aku tetap dibawa ke mana pun Mbah pergi. Meskipun jalanku lambat, Mbah tidak pernah marah. Ia tetap menuntunku ke tempat orang yang minta diobati. Mbah lebih senang mendatangi daripada didatangi pasiennya.

Mengenai upah, Mbah tak pernah mematok tarif khusus. Ia terima berapa pun jumlah upahnya. Kalaupun tidak memberikan uang, biasanya mereka memberikan barang. Beras dan juga gula yang paling sering Mbah terima. Dulu, orang juga sering memberi sebungkus rokok kretek semasa Mbah Kirut masih hidup. Tetapi sejak istri tercintanya itu meninggal karena penyakit asma, tak ada lagi sebungkus rokok yang Mbah Surip terima.

***

"Rizki itu sudah ditakar, jadi tidak mungkin tertukar. Gusti Allah Mahaadil, Din" katanya pada suatu malam. Meskipun Mbah Kirut sudah meninggal, tapi buktinya Mbah tetap tegar menghadapi kenyataan. Ibumu juga begitu. Bu Wayan kan sudah pindah ke Yogya. Pimpinan pertanian juga telah diganti orang lain. Mau tidak mau ibumu harus cari usaha sendiri," Mbah berkata panjang lebar sambil menghapus air mata di pipiku. Aku mendongak ke atas dan melihat wajah Mbah yang sudah banyak keriput. Mbah tersenyum dengan bibirnya yang sumbing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun