Mohon tunggu...
Muhammad Miftah Jauhar
Muhammad Miftah Jauhar Mohon Tunggu... Guru - Sciences and Islam

Specialization in molecular biology

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Tinjauan terhadap "Surga Dipenuhi Orang-Orang Bodoh"

19 Mei 2022   13:00 Diperbarui: 19 Mei 2022   13:03 559
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

[ Part VI : Tinjuan Terhadap "Surga Dipenuhi Orang-Orang Bodoh" ]

Semesta tidak pernah adil
Dunia tidak pernah adil
Hidup tidak pernah adil
Tuhan tidak pernah adil

Begitu kiranya apa yang diadukan kepada saya. Sebenarnya sudah lama hal ini ingin saya analisis lebih lanjut, karena saya merasa ada yang perlu diluruskan. Konsep keadilan, takdir, dan semacamnya juga pernah ditanyakan kepada saya, memang hal seperti itu menjadi kepelikan tersendiri bagi orang-orang tertentu.

Bagaimana dengan kalimat, "kita tidak pernah tahu definisi adil sejatinya, hanya bisa meraba"? Mari coba kita perdalam, bagaimana sih Islam melihat hal ini? Pembahasan seperti ini erat sekali kaitannya dengan konsep akidah seseorang, yang secara teknis dapat kita lihat dalam rukun iman.

Pertama, iman kepada Allah memiliki perincian tersendiri. Salah satu perincian tersebut adalah perihal sifat Allah. Allah merupakan Dzat yang Maha Adil, sehingga dari poin ini sebagai orang Islam tentu harus mengimani sifat tersebut. Kedua, iman kepada takdir Allah. Allah telah menentukan berbagai ketentuan para makhluk bahkan 50.000 tahun sebelum menciptakan langit dan bumi. Sehingga segala hal yang terjadi di alam semesta ini, tidak akan luput dari jalur yang telah Allah gariskan. Ketiga, ada beberapa poin akidah ahlussunnah wal jamaah, yang mana poin ini membedakan dengan firqah lainnya seperti khawarij, mutazilah, dll. Salah satu poin tersebut adalah, jika ada dalil syar'i yang dirasa bertentangan dengan akal manusia, maka yang perlu dicurigai dan ditundukkan adalah akal, bukan dalil.

Dari ketiga poin di atas, memang menjadi pondasi paling awal dari segala hal untuk memahami dunia ini dengan baik. Pondasi awal yang menyandarkan segala sesuatu kepada keimanan sejati dan menempatkan akal pada tempatnya. Perihal takdir, perlu dipahami bahwa takdir ada yang bisa dirubah, dan ada yang tidak bisa dirubah. Takdir utama/takdir azali merupakan takdir utama yang tidak bisa berubah. Namun terdapat 3 takdir lainnya yang bisa berubah, contoh nya seperti takdir yang dicatat pada bayi berumur 4 bulan, dll. Hal yang bisa merubah takdir diantaranya adalah doa. Namun, perubahan takdir tersebut juga telah ditulis dalam takdir azali.

Perbuatan Allah tidak pernah kosong dari hikmah dan maslahat serta bersih dari kesalahan. Banyak hal yang bisa kita pelajari dari ilmu Islam itu sendiri dengan hal-hal yang real terjadi dalam masyarakat. Mari ambil contoh, bagaimana jika ada gadis cilik yang tengah disiksa? Atau ada sebuah komunitas masyarakat yang sedang ditindas? Jika peristiwa gadis tersebut berujung pada kematian, saat umur gadis tersebut belum baligh, maka dia tidak perlu mengalami hisab dosa. Tentu hal ini merupakan sebuah karunia yang luar biasa. Hisab dosa dalam siksa kubur atau di neraka merupakan hal yang sangat mengerikan. Ingat peristiwa yang mengorbankan anak2 pembantu Fir'aun saat disiksa? Betapa bahagia ibunya saat anak2 nya yang meninggal akibat siksaan, langsung ditempatkan dalam surga.

Bagaimana dengan masyarakat yang sedang disiksa? Jika kita ambil kasus mereka disiksa dan meninggal dalam keadaan mempertahankan Islam, maka kematian mereka menjadi syahid. Mati syahid merupakan derajat ibadah yang sangat tinggi, sehingga tidak perlu merasakan perihnya azab, dan langsung masuk surga. Jika mereka tidak meninggal? Ketauhilah, musibah merupakan salah satu sarana pengguguran dosa. Betapa bahagianya, orang yg dosanya dibalas di dunia, dibanding dibalas nanti di akhirat. Jika dari penyiksaan itu mengakibatkan kecacatan? Maka kecacatan itu bisa jadi hikmah diambilnya salah satu bagian tubuh penyebab dosa, sehingga orang tersebut memiliki probabilitas dosa yang lebih rendah dibanding orang normal. Jika penyiksaan itu memberikan sebuah kehilangan? Mungkin Allah telah menarik salah satu beban hidup, atau bersabar dan memaknai kisah Nabi Ayub akan memberikan pahala yang sangat mulia.

"Maka kita tidak perlu mengatakan Tuhan itu Maha Adil, karena kita tidak tahu apa itu keadilan". Bagi saya ini cukup berbahaya. Saat seseorang tidak tahu tuhan, maka dia tidak perlu mengatakan tuhan itu ada, mungkin ini bisa bermakna sama. Yang perlu ditekankan adalah ilmu manusia, kemampuan akal, itu terbatas. Terutama terbatas dari apa yang dikenal oleh indera manusia. Ilmu Allah itu luas, manusia tentu tidak dapat menyetarai ilmu Allah. Pengetahuan Allah melingkupi yang ghaib dan yang tidak. Lantas bagaimana anda sebagai manusia bisa mengatakan hal seperti itu sedangkan ilmu yang ghaib pun manusia tidak memiliki? Menegasikan apa yang kita tidak tahu, terutama dalam pemahaman ghaib dalam agama tentu berbahaya.

Terakhir, jika ada pernyataan surga dipenuhi orang-orang bodoh, maka saya katakan, dalam hadits salah satu riwayat Rasulullah, dijelaskan orang yang paling cerdas adalah orang yang mempersiapkan diri untuk alam berikutnya. Ubah lah orientasi hidup dari orientasi duniawi menjadi orientasi akhirat. Kesenangan di dunia tidak dapat dibandingkan dengan kesenangan akhirat. Jika orientasi anda masih dunia, tentu akan sulit memahami hal-hal di luar nalar seperti ini.

Namun, jika semua dalil di atas tadi dilewatkan, dan tetap mengedepankan akal, maka mungkin saja kesaksian terdapat Allah dan Islam ini yang perlu ditinjau kembali. Jika bermasalah, tentu pembahasan di atas ditanggalkan terlebih dahulu. Perlu pembahasan yang berbeda untuk kembali meyakinkan. So, ini semua saya katakan kepada orang-orang yang bertanya seperti ini dan semacamnya. Dahulu saya juga pernah mengalami. Namun terus lah belajar, terus lah mencari kebenaran, tidak perlu ada tendensi apapun, berlaku lah secara objektif. Buka semua panca indera, kebenaran tidak hanya datang dari manusia, bisa saja alam sendiri yang menunjukkan kebenaran itu.

Yogyakarta, 5 Ramadhan 1441 H
Muhammad Miftah Jauhar

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun