Al-Quran diyakini umat islam sebagai petunjuk hidup sepanjang zaman. Namun, seiring dengan berkembangnya perubahan sosial, budaya, dan teknologi, pertanyaan penting pun muncul:Â
bagaimana kitab suci yang diturunkan lebih dari 14 abad silam dapat menjawab persoalan umat masa kini?
Jawaban atas pertanyaan ini terletak pada pentingnya tafsir kontemporer, yakni pendekatan penafsiran Al-Qur’an yang mempertimbangkan konteks zaman dan kebutuhan modern.
Secara sederhana, tafsir adalah usaha manusia untuk memahami dan menjelaskan makna ayat-ayat Al-Qur’an. Dalam Al-Qur’an berisi petunjuk dan pesan-pesan kehidupan, namun sebagian besar disampaikan dalam bahasa yang umum, ringkas, atau simbolik. Oleh karena itu, ulama sejak zaman dulu telah melakukan penafsiran terhadap pesan-pesan tersebut agar lebih mudah dipahami masyarakat. tafsir senantiasa terbuka dan berkembang mengikuti zaman. Tafsir yang dibuat pada abad ke-8 tentunya tidak bisa sepenuhnya menjawab persoalan yang terjadi pada abad ke-21. Itulah sebabnya tafsir perlu diperbarui, bukan dengan mengubah wahyu tetapi dengan membaca ulang maknanya sesuai dengan perkembangan zaman.
Di era yang serba modern ini tentunya berbeda dengan masa ketika Al-Qur’an diturunkan. Dulu, teknologi masih sangat terbatas, sistem sosial yang sederhana, dan persoalan yang dihadapi berkaitan dengan konflik antar suku, aturan keluarga, dan perbudakan serta distribusi harta sehingga penafsiran yang lahir saat itu sangat kontekstual dengan realitas tersebut. Kini tantangan hidup jauh lebih kompleks. Kita menghadapi isu-isu seperti ketimpangan ekonomi global, kerusakan lingkungan, radikalisme, kesetaraan gender, hingga persoalan etika ditengah kemajuan kecerdasan buatan. Banyak dari persoalan ini yang secara tidak langsung disebut dalam Al-Qur’an. Hal itu tidak berarti Al-Qur’an tidak punya jawaban. Justru disinilah pentingnya penyesuaian tafsir agar nilai-nilai yang terkandung dalam kitab suci Al-Qur’an tetap bisa hadir sebagai solusi bagi problem umat masa kini.
Tafsir kontemporer adalah penafsiran Al-Qur’an yang mempertimbangkan kondisi sosial, budaya dan pengetahuan modern. Ia tidak menolak tafsir klasik, tapi mengembangkan dan menyesuaikannya dengan kebutuhan zaman. Misalnya, tafsir feminis tentang ayat yang selama ini dipahami secara patriarkal, kembali ditafsirkan dengan makna kesetaraan gender.  Tafsir ekoteologis melihat bagaimana Al-Qur’an mengajarkan hubungan harmonis antara manusia dengan alam sekitar, sebagai respon terhadap krisis lingkungan saat ini. Juga tafsir sosial-politik yang menjadikan ayat-ayat Al-Qur’an sebagai dasar membangun keadilan sosial dan solidaritas ditengah masyarakat.
Sebagaimana dikatakan Fazlur Rahman, seorang tokoh pembaharu pemikiran islam dari Pakistan:
untuk menghidupkan kembali pesan moral Al-Qur’an, kita tidak bisa hanya mengulang bentuk tafsir lama. Kita harus menggali makna universal dari wahyu dan menerapkannya pada konteks sosial di masa sekarang.
Senada dengan itu, Prof. Quraish Shihab, pakar tafsir Indonesia, menyatakan:
Al-Qur’an tidak berbicara tentang sesuatu yang tidak diketahui manusia pada saat diturunkannya, tetapi ia menyimpan potensi makna yang relevan sepanjang zaman. Tugas kita adalah menggali relevansi itu.
Menafsirkan Al-Qur’an itu bukan mengubah isi tetapi memahami konteks. Sebagian kalangan mungkin khawatir bahwa menyesuaikan tafsir berarti mengubah makna Al-Qur'an. Namun penting untuk dipahami bahwa yang diubah bukan isi Al-Qur’an melainkan cara kita memahaminya dengan pendekatan yang disesuaikan dengan kondisi saat ini.
Meski tafsir kontemporer sangat penting, tetap ada batasan dan prinsip yang harus dijaga. Penafsiran tidak bisa dilakukan secara bebas tanpa dasar. Dibutuhkan penguasaan terhadap bahasa arab, ilmu-ilmu Al-Qur’an, sejarah islam, serta pemahaman kontekstual terhadap realitas sosial. Maka, tafsir kontemporer tetap harus dibangun diatas landasan keilmuan yang kuat, bukan sekedar opini bebas atau selera pribadi. Para mufasir modern harus mampu menjaga keseimbangan antara kejujuran akademik, ketulusan spiritual, dan keberpihakan terhadap kemanusiaan. Dengan begitu, tafsir tidak menjadi alat pembenaran ideologi tertentu, tetapi benar-benar menjadi jembatan antara wahyu allah dan kemaslahatan umat.
Tafsir yang disesuaikan dengan zaman bukan hanya sebuah kebutuhan, melainkan keniscayaan. Umat islam hidup didunia yang terus berubah, dan Al-Qur’an sebagai kitab petunjuk hidup perlu terus dihadirkan secara kontekstual agar tetap membimbing langkah umat. Tafsir kontemporer memungkinkan nilai-nilai Al-Qur’an hadir secara nyata dalam menghadapi problematika modern. Dengan membaca dan memahami ulang Al-Qur’an dalam konteks hari ini, kita tidak menjauh dari pesan Ilahi, justru kita mendekatkannya. Karena pada akhirnya Al-Qur’an diturunkan bukan hanya untuk dibaca tetapi untuk dihidupi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI