Murni kembali menjalani rutinitasnya. Tapi entah mengapa akhir-akhir ini ia terlambat beberapa menit tiba di rumah majikannya. Pekerjaan jika tak dijalani dengan sepenuh hati memang membuat seseorang tak semangat. Sudah saatnya ia berontak dengan keadaan. Tak bisa ia berlama-lama lagi dengan ketidakwajaran hidup ini.
Murni tak pernah diberi ijin libur saat di rumahnya  ada hajatan. Tak pernah ada jatah hari libur untuk pembantu. Apakah gaji dan perlakuan dari majikan terhadapku sudah baik. Bisiknya dalam hati. Ya, pembantu juga manusia. Aku punya hak untuk menikmati kehidupanku sendiri.
Mulai hari itu Murni menimang hari yang tepat. Â Ia ingin mengutarakan maksud berhenti dari pekerjaannya kepada Margono. Hingga suatu sore saat Margono bersantai melihat televisi, Murni memberanikan diri merangkai doa dan kata demi keberhasilan tujuannya.
Belum sempat berucap kata, telinga Murni dijejali suara Dewi, anak Margono.
"Mbok Murni, ini kenapa nyetrikanya gak rapi? Â Coba lihat baju seragam kantorku ini masih kumal." Dewi memperlihatkan baju miliknya ke Murni. "Setrika lagi! Kalau nyetrika yang rapi, dong!"
"Injih, Ndoro." Senja semakin tenggelam seakan menghanyutkan harapan-harapan Murni di usia senjanya. (Miv)
*) Cerpen Ketika Senja Tenggelan adalah karya Miftahul Abrori. Pernah tayang di harian Solopos.