"Aku tak menghendakinya."
"Janin di perutmu itu tetap darah dagingmu!"
Anik tertunduk. Ia mengelus perutnya denga perasaan perih.
"Lalu apa kata orang-orang nanti jika kamu ikut aku ke Solo. Apalagi jika kamu berniat membunuh bayimu. Kamu harus menikah dengannya."Â
"Tidak! Aku hanya ingin menikah denganmu. Itu pun kalau kamu masih menerimaku, perempuan nelangsa. Perempuan yang menanggung malu atas kebiadan lelaki brengsek."
Tak lama kemudian pintu rumah digedor sekelompok warga.
"Pras, keluar kau sekarang! Kami tahu kamu di rumah Anik," teriak seorang warga.
"Laki-laki harus bersikap jantan. Berani berbuat, berani bertanggungjawab," warga lain ikut berteriak.
"Kalian bisa diam tidak. Kita ini bertamu ke rumah orang. Semua bisa diobrolkan baik-baik," sergah Wiryo, ketua RT.
Danutirta, ayah Anik membuka pintu rumahnya melihat kegaduhan.
"Monggo pinarak. Tidak perlu teriak. Saya sadar anak saya menanggung aib, tapi tidak perlu panjenengan semua mempermalukan kami seperti itu," kata Danu.