Mohon tunggu...
Mieska Despitasari
Mieska Despitasari Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Mahasiswa S3 UI

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Tanpa Optimalisasi Promotif-Preventif, JKN “Jebol” !

7 Juni 2014   14:01 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:51 1418
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1402321736606842748

Ya, pernyataan yang bukan sekedar kelakar atau candaan. Data SKRT menunjukkan bahwa pada tahun 1980, jumlah kematian terbanyak di Indonesia disebabkan oleh penyakit infeksi (60,9%). Jumlah kematian akibat penyakit infeksi ini semakin menurun hingga mencapai sekitar 28% saja (Riskesdas 2007). Namun, sebaliknya, penyebab kematian akibat penyakit kardiovaskular yang semula (SKRT 1980) hanya 9,9% mengalami peningkatan trend hingga mencapai 31,9% pada tahun 2007 (Riskesdas). Transisi epidemiologi telah terjadi di Indonesia. Pergeseran trend penyakit menular menjadi penyakit tidak menular (non communicable diseases) telah terjadi.

Berapa banyak biaya yang akan BPJS keluarkan untuk membiayai jebolnya jantung penderita penyakit kardiovaskuler atau untuk membiayai ginjal dan pankreas yang sudah tidak berfungsi dari penderita Diabetes Mellitus? Penyakit-penyakit kronis yang berlangsung menahun akan menggerogoti dana yang di-pool di BPJS untuk terus menerus digelontorkan. Misalnya saja seorang penderita gagal ginjal yang harus menjalani cuci darah rutin. Apabila biaya minimal cuci darah adalah Rp 600.000,00 per tindakan, maka seorang pasien yang menjalani cuci darah dua kali dalam seminggu akan menelan biaya sebesar Rp 600.000,00 x 8 tindakan per bulan x 12 bulan = Rp 57.600.000,00 per tahun. Jika jumlah pasien gagal ginjal terminal di Indonesia yang membutuhkan cuci darah atau dialisis mencapai 150.000 orang (Kompas, 26 Juni 2013), maka dalam setahun BPJS akan mengeluarkan dana minimal sebesar Rp 8,6 triliun!Belum lagi untuk penyakit tidak menular lainnya. Solusi untuk menghindari masalah tersebut diantaranya adalah dengan optimalisasi upaya pencegahan penyakitoleh para penyedia layanan kesehatan (provider) dan masyarakat itu sendiri. Maka ada baiknya apabila BPJS “mengingatkan” para penyedia layanan kesehatan bahwa mereka juga berkewajiban melakukan upaya preventif-promotif sesuai denganapa yang tercantum dalam Perpres No.12 tahun 2013.

Menurut Leavel dan Clark, ada lima tahap pencegahan penyakit dalam mewujudkan kesehatan masyarakat. Pertama, Health Promotion atau promosi kesehatan yang merupakan ajakan untuk hidup sehat. Kedua,  Health Prevention and Health protection atau pencegahan kesehatan dan perlindungan kesehatan. Tahap ini merupakan penerapan dari praktek hidup sehat. Ketiga, Medical Curration (early diagnose and prompt treatment) atau Pengobatan (deteksi dini dan pengobatan cepat tepat). Tahap ini adalah penanganan jika telah ditemukan penyakit atau indikasi penyakit. Keempat,  Disability Limitation atau pembatasan kecacatan yang sudah terlanjur menyerang atau menjangkiti seseorang. Terakhir,Health Rehabilitation atau pemulihan kembali. Rehabilitasi bertujuan menyiapkan pasien untuk kembali ke masyarakat.

Dalam Perpres No.12 tahun 2013 pasal 20 termaktub bahwa setiap peserta JKN berhak memperoleh Manfaat JaminanKesehatan yang bersifat pelayanan kesehatanperorangan, mencakup pelayanan promotif, preventif,kuratif, dan rehabilitatif. Dimana pasal selanjutnya menyampaikan jenis pelayanan promotif dan preventif yang diberikan meliputi penyuluhan kesehatan perorangan mengenai pengelolaan faktor risiko penyakit dan perilaku hidup bersih dan sehat, imunisasi dasar (BCG, DPT-HB, Polio, Campak), keluarga berencana (konseling, kontrasepsi dasar, vasektomi dan tubektomi). Pelayanan skrining kesehatan juga diberikan secara selektif yang ditujukan untuk mendeteksi risiko penyakit dan mencegah dampak lanjutan dari risiko penyakit tertentu.

Seharusnya pemberi pelayanan kesehatan tingkat pertama/ dasar seperti yang diungkapkan dalam Permenkes No.71 Tahun 2013 (puskesmas atau yang setara, praktik dokter, praktik dokter gigi, klinik pratama atau yang setara, dan Rumah Sakit Kelas D Pratama atau yang setara) sudah memiliki kemampuan untuk memberikan penyuluhan kesehatan perseorangan. Seorang dokter atau tenaga medis lainnya tidak lagi hanya sekedar melakukan upaya kuratif dalam menjalankan praktiknya. Edukasi pasien mutlak untuk dilaksanakan, maka seharusnya tidak ada lagi tenaga medis yang terburu-buru dalam melayani pasien seperti “pengemudi angkot yang mengejar setoran”. Tidak ada lagi tenaga medis yang tidak memberikan waktu yang cukup bagi pasien untuk berkonsultasi dan menganggap pasien tidak selevel dengan mereka. Padahal sejatinya dalam pendidikan tenaga medis sudah ditekankan mengenai fungsi mereka sebagai pemberi edukasi yang mengarah pada upaya promotif dan preventif ini.

Dalam pendidikan kedokteran, ada Program Internsip Dokter Indonesia yang merupakan program pemahiran terhadap lulusan pendidikan kedokteran dimana di dalamnya mencakup kewajiban untuk memenuhi target Upaya Kesehatan Masyarakat. Mengembangkan kemampuan para lulusan pendidikan dokter untuk menjalankan upaya kesehatan promotif dan preventif. Demikian pula pendidikan kebidanan dan keperawatan, masing-masing memuat pengajaran konseling dan pelayanan kesehatan komunitas. Kode Etik Kedokteran pasal 8 menyebutkan bahwa dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus memperhatikan kepentingan masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh (promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif), baik fisik maupun psikososial, serta berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenar-benarnya. Maka sudah seharusnya upaya promotif preventif melalui penyuluhan perorangan dapat berjalan.

Namun, upaya promotif dan preventif melalui penyuluhan perorangan saja tidak cukup. Upaya melalui penyuluhan pada komunitas juga sangat diperlukan. Di sinilah peran tenaga kesehatan masyarakat menjadi sangat penting. Ironis berdasarkan data RIFASKES 2011, ternyata ketersediaan tenaga promosi kesehatan di Indonesia hanya 0,46 orang per puskesmas, bahkan “kurang dari 1 orang”! Itupun belum tentu fungsional, karena seringkali tenaga tersebut merangkap tugas atau hanya menjalankan fungsi administratif saja di Puskesmas. Sebanyak 5895 dari 8980 Puskesmas di Indonesia tidak memiliki tenaga promosi kesehatan.

Permenkes No.71 tahun 2013 sudah menyatakan bahwa akan ada pelayanan skrining kesehatan yang diberikan kepada perorangan dan selektif untuk mendeteksi risiko penyakit dan mencegah dampak lanjutan dari risiko penyakit diabetes mellitus tipe 2, hipertensi, kanker leher rahim, dan kanker payudara. Pelayanan skrining tersebut dimulai dengan analisis riwayat kesehatan, yang dilakukan sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun sekali. Pertanyaan selanjutnya adalah, dengan apa analisis riwayat kesehatan tersebut akan dilakukan apabila pada kenyataannya belum seluruh fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama memiliki data rekam medis pasien yang lengkap. Kendatipun fasilitas yang sudah memilikinya, bagaimana apabila si pasien berobat berpindah-pindah, tidak hanya kepada satu pemberi jasa saja? Pemikiran tentang perlunya data rekam medis yang juga dipegang dan disimpan sendiri oleh pasien dapat menjadi sebuah alternatif solusi. Sehingga, kemanapun pasien tersebut berobat, setiap pemberi jasa pelayanan kesehatan akan mencatatkan dengan lengkap anamnesis, diagnosa bahkan terapi yang diberikan. Dengan demikian, riwayat kesehatan pasien akan terus terrekam dengan baik. Persoalannya tinggal pada masalah pemberi jasa pelayanan kesehatan yang baik “sengaja atau tidak sengaja” kurang jelas dalam mencatatkan keterangan dalam rekam medis pasien. Hal ini berakibat sejawatnya yang lain tidak dapat memahami apa yang dicatatkan. Entah faktor kesengajaan atau bukan.

Di sisi lain, masyarakat awam juga berperan – bahkan sangat berperan – dalam melakukan upaya promotif dan preventif terhadap dirinya sendiri. Dimulai dengan family resilience (ketahanan keluarga) sampai kepada Usaha Kesehatan Bersumber daya Masyarakat (UKBM). Kegiatan UKBM difokuskan kepada upaya survailans berbasis masyarakat, kedaruratan kesehatan dan penanggulangan bencana serta penyehatan lingkungan. Dengan demikian, beban tenaga kesehatan untuk selalu menjemput bola akan berkurang. Hanya kesadaran dan kesungguhan dari berbagai pihak akan tanggung jawabnya masing-masing yang dapat mencegah “jebolnya” JKN.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun