Mohon tunggu...
Michael Sendow
Michael Sendow Mohon Tunggu... Wiraswasta - Writter

Motto: As long as you are still alive, you can change and grow. You can do anything you want to do, be anything you want to be. Cheers... http://tulisanmich.blogspot.com/ *** http://bahasainggrisunik.blogspot.co.id/ *) Menyukai permainan catur dan gaple. Menulis adalah 'nafas' seorang penulis sejati. I can breath because I always write something...

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Opini Siapa Paling Benar di Kompasiana?

12 September 2012   05:12 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:35 691
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13474261401241154542

Kenapa Kita Harus Merasa Bahwa Tulisan Opini Kitalah yang Paling Benar?

[caption id="attachment_205322" align="aligncenter" width="555" caption="Ilustrasi kebenaran. Sumber: nustaffsite.gunadarma.ac.id"][/caption]

Kompasiana sudah semakin mendapat tempat di hati banyak orang. Setiap hari ada saja anggota yang baru mendaftar, walau tentu tidak sedikit yang keluar. Perlahan namun pasti ranking Alexa Kompasiana merangkak naik. Mau tidak mau, situs ini semakin diperhitungkan di Indonesia.

Apalagi tawaran-tawaran fitur menarik yang setiap user bisa dapatkan. Semuanya gratis. Tapi kesempatan yang paling dicari dan dipergunakan tentu, tidak dapat dipungkiri adalah bahwa setiap anggota dimungkinkan untuk menulis apapun dan memberi komentar apapun.

Mengapa menulis dan memberi komentar kemudian menjadi sangat digemari? Karena dari sanalah kesempatan saling kenal dan ‘saling cinta’ mulai bertumbuh. Kesempatan untuk saling serang dan hujat pun terakomodasi sempurna. Mengenali tulisan dan komentar yang bagus membuat kita tertarik. Tapi jangan salah, lahan ini juga begitu kental dengan tulisan panas, tidak mendidik, arogan, bahkan sampai ke tingkat yang paling tinggi, menghujat dan menghina orang karena merasa opini sendirilah yang paling benar.

Baru-baru ini saya membaca sebuah tulisan menarik dari Usman Kusmana, di tengah-tengah tulisannya ia menyampaikan tentang ‘onani kebenaran’. Saya tertarik dengan pendapatnya itu. Kalau mau jujur bukan saja kebenaran sering dipakai untuk memuaskan diri sendiri. Kebenaran memang tak jarang dipakai untuk kepuasan diri sendiri. Jauh lebih kasar dari itu, ada sebagian malah melacurkan kebenaran itu. Boleh dibilang sebagai ‘pelacur kebenaran’. Kebenaran atau hal-hal yang (ia sendiri anggap) benar dilacurkan tidak saja demi kepuasan tapi untuk uang, jabatan, tapi juga untuk kekuasaan dan ketenaran.

Apa lacur, di Kompasiana yang katanya rumah sehat sudah terjadi saling klaim atas nama kebenaran. Siapa merasa paling benar terhadap apa. Padahal kalau mau jujur, apapun yang kita tulis dan opinikan di sini, seyakin apapun kita, belum tentu itu dapat diterima sebagai kebenaran universal untuk semua. Bukankah apa yang benar buat Anda belum tentu benar buat saya? Demikianlah kata orang bijak.

Betapa mudahnya kita memposisikan sebagai yang paling benar, sementara di lain pihak, kita tidak pernah mau mengakui bahwa ada kemungkinan bisa saja ada yang ternyata lebih benar dari kita. Saya pernah janjian untuk ketemu kawan lama di Arion Jalan Pemuda Jakarta. Saya yang di Rawamangun mengatakan bahwa dari tempat sayalah yang paling dekat menuju Arion. Tapi kawan saya yang lokasinya lagi di Terminal Pulogadung membantahnya, bahwa dari tempat dialah yang lebih dekat. Lantas siapa yang benar dalam hal ini? Tidak ada yang salah. Dua-duanya benar menurut sudut pandang masing-masing. Dari arah Rawamangun, sayalah yang lebih dekat, tapi dari arah Pulogadung, kawan sayalah yang terdekat.

Dalam arti begini. Saya ingin sekali kita supaya lebih rela untuk sedikit saja merendahkan diri dan tidak coba-coba menista, menuduh, merendahkan orang lain, kelompok lain, tulisan lain, buah pikiran orang lain karena sudah merasa diri sendiri yang paling benar. Saya percaya ilmu yang paling tua di dunia ini adalah ilmu filsafat. Dan sampai detik ini ada sebuah pertanyaan yang belum bisa dijawab oleh ilmu tersebut. Pertanyaan apa itu? Ini: What is the truth?” Apakah kebenaran itu? Lantas kenapa pertanyaan itu belum bisa dijawab?

Saya kok meyakini bahwa pertanyaan itu belum bisa dijawab karena pertanyaan yang dimulai dengan “what” itu bisa saja keliru. Harusnya pertanyaannya menjadi who is the truth.” ‘Siapa’ dan bukan ‘apa’. Kenapa? Karena hanya Tuhanlah the absolute truth. Dia satu-satunya kebenaran yang mutlak. Kita boleh meyakini bahwa pendapat kita benar. Tapi yakinilah juga bahwa belum tentu itu yang paling benar. Atau bahwa itulah kebenaran yang benar-benar paling benar. Atau pendapat kita itu sajalah yang seribu persen benar, yang lain pasti keliru. Selama kita masih manusia, ijinkanlah kebenaran mutlak tetap hanya menjadi milik Dia yang sempurna itu.

Kembali ke masalah kebenaran dan pembenaran opini yang kita sajikan di Kompasiana. Ketika kita melempar sebuah opini, serta merta kita harus menerima kenyataan bahwa pasti akan ada yang pro dan kontra dengan pendapat kita. Layanilah yang pro dan kontra itu secara adil karena dari situ, kita bukan hanya belajar menghargai pendapat orang lain, tapi juga belajar untuk mampu mengoreksi diri alias bercermin pada ‘cermin kepribadian’ untuk tidak menjadi (atau coba-coba menjadi) pemilik kebenaran tunggal. Keputusan seorang dokter saja selalu membutuhkan second opinion, karena sudah pasti masih ada yang lebih tahu dan lebih benar melebihi pengetahuan yang bersangkutan.

Kompasiana ini layaknya puluhan telor dalam satu keranjang akan rentan terhadap berbagai benturan dan keretakan, begitu juga banyaknya kompasianer dalam satu atap, pasti diperhadapkan pada berbagai benturan dan keretakan. Satu butir telor sendirian dalam keranjang tidak akan mungkin retak berbenturan dengan telor-telor lainnya, tapi ia juga akan berharga jauh lebih murah dibanding kumpulan puluhan telor. Kompasiana tidak akan berharga dan bernilai dengan hanya satu orang penulis saja. Keberagaman dan banyaknya penulis membuat situs ini semakin bagus dan bernilai. Memang sudah pasti akan ada banyak benturan yang rentan keretakan, tapi kalau kita mampu mengelola konflik saya yakin hal-hal seperti itu dapat diminimalisir.

Opini adalah sebatas opini. Sedangkan reportase saja masih sarat keberpihakan, apalagi hanya opini semata yang penuh egosentris pemikiran, dan miskin fakta. Jadi sebaiknya jujurlah dalam beropini, dan jangan pernah berusaha memonopoli kebenaran dengan menafikan nilai-nilai kebenaran milik orang (penulis) lain. Dengan begitu, kita sudah menghargai penulis dan pemberi komentar lain selayaknya.

Orang yang merasa tulisannya paling benar adalah orang yang tidak mencintai dunia tulis-menulis. Karena saya mencintai dunia tersebut, maka tulisan ini jauh dari sempurna dan serta merta menjadi bukan tulisan (opini) yang paling benar. So, I am so sorry, folks!---Michael Sendow.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun