Mohon tunggu...
Michael Sendow
Michael Sendow Mohon Tunggu... Wiraswasta - Writter

Motto: As long as you are still alive, you can change and grow. You can do anything you want to do, be anything you want to be. Cheers... http://tulisanmich.blogspot.com/ *** http://bahasainggrisunik.blogspot.co.id/ *) Menyukai permainan catur dan gaple. Menulis adalah 'nafas' seorang penulis sejati. I can breath because I always write something...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kejahatan Korupsi di Indonesia

21 Mei 2014   01:12 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:18 1461
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14005842301201869899

Kejahatan Korupsi di Indonesia

[caption id="attachment_324686" align="aligncenter" width="600" caption="Ilustrasi Korupsi: Binarmediaeducation.blogspot.com"][/caption]

“A man who has never gone to school may steal a freight car; but if he has a university education, he may steal the whole railroad.”― Theodore Roosevelt

Menjadi orang yang baik itu tidak gampang. Menjadi orang yang jujur lebih tidak gampang lagi. Kita bisa saja mengucapkan berjuta kali di hadapan semua orang bahwa kita ini adalah seseorang yang baik dan jujur. Boleh saja beribu-ribu janji terlontar dari mulut kita, namun perbuatan kitalah yang kemudian akan menunjukkan siapa sesungguhnya kita ini. Seperti apa sebetulnya kita ini. Bukan karena kita berteriak lantang “saya bukan koruptor” maka saya lantas tidak akan korupsi bukan? Bukan juga ketika kita berjanji tidak akan korupsi lantas kemudian kita serta merta bebas dari korupsi. Kebaikan dan kejujuran seseorang mesti diuji terlebih dahulu. Anda ingin tahu seberapa kuat Anda dapat menolak untuk korupsi dan terbebas darinya? Maka cobalah masuk dalam sistem yang korup. Bergaulah dengan orang-orang yang korup. Bersahabatlah dengan atasan dan bawahan yang korup. Di sanalah ujian itu baru muncul. Sebab, mungkin saja kita tidak korupsi ya oleh karena memang kita hidup di tengah-tengah lingkungan yang tidak memungkinkan kita untuk korupsi dan memakan uang bukan milik sendiri dengan begitu rakusnya. Sederhananya, kita tidak korupsi karena tidak ada (belum ada) kesempatan untuk itu.

Bukankah sudah banyak contoh mereka yang tadinya berteriak-teriak dengan lantang menolak pejabat korup. Mereka dengan ganasnya menghina serta menistakan para koruptor dan tindakan korupsi yang sementara terjadi. Akan tetapi ketika mereka masuk ke dalam sistem. Tatkala mereka terpilih sebagai pejabat publik, eh justru mereka menjelma menjadi jauh lebih busuk dan lebih bobrok dari orang-orang yang mereka demo dan teriaki itu. Sangat kontras. Terlebih, kelak di kemudian hari, ini pastilah menjadi sebuah preseden buruk yang amat sangat memalukan bagi aktivis anti korupsi lainnya, bila ia kemudian menjadi jauh lebih “busuk” dari para koruptor yang sering dihujatnya. Amat memalukan. Dan amat memiriskan.

Terlepas dari semua kebimbangan dan keputusasaan kita terhadap kemurnian para aktivis anti koruptor tersebut, bangsa kita ternyata masih juga terus melahirkan pemimpin-pemimpin yang dapat dipercaya. Orang-orang yang anti korupsi seperti Ahok dan Jokowi, Mahfud MD, serta Abraham Samad membuktikan bahwa sistem dan lingkungan yang korup tidak sanggup menarik mereka masuk ke pusaran itu. Mereka masih punya hati nurani dan dapat berkata tidak, walau sebetulnya kesempatan itu sangatlah terbuka.

Jokowi dan Ahok umpamanya. Sebagai orang nomor satu dan dua di Jakarta ini, peluang untuk korupsi tentu begitu besar. Namun mereka masih setia kepada janji mereka. Mereka juga tetap menunjukkan ketegaran mereka sebagai pemimpin yang anti korupsi. Mereka masih menggunakan akal sehat dan hati yang bersih, bukan sebaliknya menggunakan dengkul dan (maaf) pantat yang mudah tergiur oleh godaan korupsi. Otak mereka masihlah sehat, bahwa uang negara, uang rakyat, tentu semuanya itu adalah demi kepentingan dan kesejahteraan rakyat semata, dan bukan untuk kenikmatan diri sendiri dan keluarga. Sama sekali tidak. Pemimpin yang jujur dan bersih harus sanggup menolak godaan korupsi.

Pemimpin-pemimpin seperti inilah yang mesti kita ancungi jempol dan dukung. Bangsa ini semakin terpuruk, jujur saja oleh karena salah satu alasan utamanya adalah masih begitu banyaknya pencuri dan maling yang duduk berkuasa dan menjadi pejabat publik. Berapa puluh atau bahkan ratus triliunan yang sudah dicuri mereka? Itu bukan jumlah yang sedikit. Lantas apakah kita akan tinggal diam melihat negara kita digerogoti dan dihabisi oleh orang-orang yang seharusnya melindungi dan menyejahterakan kita?

Budaya Korupsi di Indonesia

Coba kita cermati. Lembaga dan institusi mana di negeri ini yang tidak disantroni maling? Hampir tidak ada satupun lembaga atau institusi yang kita punyai yang bebas korupsi. Maling-maling bertitel keren sebagai koruptor itu hadir dan muncul dimana-mana. Mereka itu sudah mewabah, dan sakit yang mereka ciptakan sudah teramat akut. Kekronisan dari penyakit yang ditimbulkan oleh korupsi ini tidak bisa lagi dipandang sebelah mata. Hadir menggerogoti setiap sendi-sendi negeri ini. Melumat hampir semua ruang yang dilaluinya. Laksana ruang gelap yang tak kita jumpai lagi berkas cahaya terang. Ibarat tidak lagi ada ruang pengharapan di sana. Pengharapan bahwa negeri kita akan bebas dari korupsi.

Ada sebuah organisasi non profit yang selama ini memiliki perhatian sangat khusus terhadap korupsi. Organisasi ini kerap kali melakukan survei soal korupsi. Nama organisasi ini adalah Transparansi Internasional (TI). Pada tahun kemaren (2013) mereka mengeluarkan daftar tentang indeks persepsi korupsi selama tahun 2013. Lantas apa hasilnya? Nah, hasilnya adalah bahwa Afganistan, Korea Utara dan Somalia menjadi tiga negara terkorup tahun 2013. Mereka adalah peraih medali emas, perak dan perunggu dalam urusan korupsi. Lantas bagaimana dengan posisi Indonesia?

Berdasarkan tabel yang dimuat di situs resmi TI, Indonesia ternyata berada di posisi ke-114 dengan indeks persepsi 32. Posisi Indonesia ini masih sangat jauh bila dibandingkan dengan posisi Singapura, yang menjadi satu-satunya negara Asia bertengger di posisi ke-5 dengan indeks persepsi 86. Artinya Indonesia masilah termasuk dalam daftar negara-negara terkorup.

Menurut peneliti utama TI, Finn Heinrich, korupsi pastilah akan sangat melukai kaum miskin. Dan menurutnya, itulah yang sesungguhnya Anda lihat ketika menyaksikan bagian paling bawah dari suatu negara. Selain merugikan negara, maka perbuatan korupsi juga pasti akan menyengsarakan rakyat kecil. Warga negara mana yang tidak akan sakit hati dan terpukul melihat negaranya masuk dalam urutan tukang korup terhebat? Semakin korup sebuah negara, pasti rakyatnya akan semakin miskin dan sengsara.

TI melakukan survei terhadap 175 negara, dibantu para ahli yang bekerja di beragam organisasi seperti Bank Dunia, Bank Pembangunan Afrika, Unit Intelijen Ekonomi, Bertelsmann Foundation, Freedom House dan kelompok-kelompok lainnya. Peringkat negara diberikan skala 0-100. Nilai “0” berarti sektor publik di negara itu dianggap sangat korup, sedangkan 100 dianggap paling bersih. Memang dari 175 negara yang disurvei, tidak ada satu pun yang meraih angka sempurna 100.

Jangan pernah lupa, salah seorang mantan presiden kita bahkan sudah pernah menduduki posisi teratas dalam jajaran pemimpin negara yang terkorup kelas dunia. Beliau menjabat sebagai presiden Indonesia selama tak kurang dari 31 tahun (Maret 1967-Mei 1998). Ia berada di nomor urut 1 kepala negara terkorup di dunia, bahkan lebih parah dari Ferdinand Marcos, Mobutu Sese Seko, dan Slobodan Milosevic. Ia dan keluarganya berhasil menjarah uang rakyat sebesar 15–35 miliar USD. Sebuah angka yang amat sangat fantastis tentunya.

Di bulan Desember, tepatnya tanggal 9 Desember, seluruh warga dunia selalu merayakan hari anti korupsi. Namun sayangnya, Indonesia sepertinya tidak mengenal perayaan itu. Di sini, 364 dalam setahun adalah hari biasa, dimana korupsi pun akan tetap berjalan sebagaimana biasanya. Korupsi tetap akan terus merajalela dan semakin menggila. Bisa jadi, di Indonesia “hari anti korupsi” itu masih tidak lazim. Justru yang lazin dan lumrah adalah “hari korupsi” karena itulah yang terjadi setiap harinya. Kebiasaan yang membudaya. Budaya korup yang terbiasakan. Saking sangat biasanya, orang tidak tahu malu lagi melakukannya.

Korupsi sudah sangat membudaya dan begitu kuat mengakar di negeri yang katanya kaya raya nan makmur ini. Apanya yang makmur ya? Toh kemakmuran hanya dimiliki dan dirasakan oleh segelintir orang kaya dan penguasa korup? Bayangkan saja, mulai dari perangkat desa sampai pejabat negara kelas tinggi di pusat tak mampu lepas dari jeratan korupsi. Menteri dipidana karena korupsi, anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang terhormat dijebloskan penjara karena korupsi, kepala desa pun korupsi, bupati dan walikota tak kuasa melepaskan diri dari prilaku korup, gubernur juga tak berdaya menolak “manis”nya tindak korupsi. Pejabat publik lainnya berlomba-lomba serta ikut-ikutan menistakan diri dengan mencuri uang yang bukan miliknya, naik pangkat menjadi koruptor. Lantas kalau begitu muncul pertanyaan ini: Siapa yang tidak korupsi?

Di Indonesia ini, semua barang dan jasa bisa dikorupsi. Apapun itu bisa diduitin. Bahkan ada yang sampai kehilangan akal sehat sehingga pengadaan Alquran pun dikorupsi, belum lagi baju muslim hingga pengadaan sarung yang sempat mencuat kepermukaan dan menghebohkan itu. Di sini juga penjahat kerah putih dengan teganya mengorupsi sumbangan bencana alam, uang bantuan tunai, hingga kepada batuan untuk sekolah-sekolah. Jerat korupsi ada dimana-mana dan sampai ke mana-mana.

Rakyat yang Marah

Makanya, wajarlah kita melihat rakyat yang marah dan kesal. Setiap saat ada rakyat yang marah. Rakyat menjadi begitu marahnya melihat para pejabat korup kelas kakap pun yang kelas teri masih tetap berseliweran dengan bebasnya, sambil menaiki mobil mewah, dan tinggal di istana yang dibangun mungkin dari uang hasil korupsinya itu. Sementara itu di banyak tempat, masih begitu banyak bangunan sekolah yang nyaris roboh. Anak-anak SD harus menyeberangi jembatan yang hampir putus untuk dapat sampai di sekolahnya. Tak sedikit yang mesti makan hanya beralaskan daun pisang, dan yang tidurnya hanya dilapisi kertas koran bekas. Apakah ini adalah perwujudan dari salah satu sila Pancasila yang kita hormati dan agungkan itu: Yakni, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia? Semoga pemimpin kita yang baru nanti mampu memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya. Mengembalikan kedaulatan rakyat pada satu aras --- Pancasila, utamanya sila yang ke-5 itu. Menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Karena korupsi di negeri ini sudah begitu akut. Laiknya sakit kronis yang susah disembuhkan. Bahkan pun, karena politisi dan pejabat korup di negeri ini sudah begitu membudaya, maka politisi atau pejabat yang kebetulan bersih sekalipun bisa saja akan tetap dicap korup dan kotor juga. Inilah mungkin arti dari pribahasa yang berkata bahwa nila setitik dapat merusak susu sebelanga itu, atau dalam bahasa Henry Kissinger ia membahasakannya begini, “Corrupt politicians make the other ten percent look bad.” Semoga Indonesia cepat bangkit dari ketertinggalan dan keterpurukannya. ---Michael Sendow---

#jangankorupsi

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun