Mohon tunggu...
Michael Sendow
Michael Sendow Mohon Tunggu... Wiraswasta - Writter

Motto: As long as you are still alive, you can change and grow. You can do anything you want to do, be anything you want to be. Cheers... http://tulisanmich.blogspot.com/ *** http://bahasainggrisunik.blogspot.co.id/ *) Menyukai permainan catur dan gaple. Menulis adalah 'nafas' seorang penulis sejati. I can breath because I always write something...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jangan mengurung diri dikamar..Bahaya!

19 Maret 2011   00:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:39 1201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13004927011047675739

……waktu itu, duapuluhan tahun yang lalu di kampung halaman saya, kampung yang bernama Paniki Bawah tempat saya dan kedua orang tua saya, kakak dan adik saya tinggal itu terjadi peristiwa besar (untuk ukuran kampong kecil). Siang itu adarumah milik tetangga yang terbakar hebat dan kebun dibelakang rumah ikut-ikutan terbakar. Nah, bayangkan kalu ada rumah terbakar seperti itu di kampung. Api sangat besar dan cepat menjalar....heboh banget!. Ditengah-tengah kehebohan tersebut mulailah itu petugas dari kantor kepala desa dengan alat pengeras suara (corong) berteriak seperti ini "Perhatian....perhatian......warga desa diminta untuk masuk kerumah masing-masing, kunci pintu dan jendela rapat-rapat, usahakan untuk tidak keluar rumah ! ". Ini memang cara yang paling gampang dan kelihatan efektif untuk menghindari polusi. Tapi kita tau bersama masalah pokoknya bukang itu. Bukan dengan mengurung diri dikamar kemudian apinya akan padam kan ?Masalahnya adalah bagaimana kita berusaha memadamkan api tersebut. Bagaimana kita bekerjasama, saling Bantu –apapun itu- ambil air disungai, atau pasir dan sebagainya untuk siram dan padamkan api tersebut agar tidak semakin membesar danmenjalar! Polusi deng kebakaran mustahil diatasi kalu kita cuman bersembunyi dan masih-masing lari menyelamatkan diri sendiri. Mengurung diri rapat-rapat dalam rumah. Habis perkara. Urusan memadamkan api, itu kerjaan orang lain. Kenapa saya memberikan penggalan cerita pendek dikampung saya itu ? Diolehkarenakan itu jugalah kecenderungan nyata dari yang ada dan terlihat pada institusi agama-agama, sebagian masyarakat umum dan penegak hukum yang katanya sudah modern di negeri ini dalam menghadapi persoalan-persoalan kehidupan dan kemanusiaan. Yaitu mengurung diri rapat-rapat, menghindar, bersembunyi dan mencari aman, bahkan diam membisu terhadap kebenaran. Tidak bias bersaksi, malah jadi seperti bisu. Ada berapa banyak yang mampu mengungkap kebenaran ketika itu dipertanyakan baik dalam sidang-sidang pengadilan maupun oleh rakyat banyak ? Masih banyaknya ketidakadilan hukum, pejabat koruptor yang bebas, mafia berdasi yang bisa seenaknya lalu lalang tanpa bisa disengat oleh hukum. ‘Mafia-mafia’ brengsek ini jugalah yang telah ‘membuang’ dan ‘menghancurkan’ orang sekaliber dan yang sangat berintegritas seperti Dr.Sri Mulyani dan masih banyak orang-orang jujur lainnya yang disingkirkan baik scara halus maupun kasar. …Kenapa ? Karena banyak diantara kita tidak mau menyuarakan apa yang benar. Lebih memilih diam. Padahal tidak selamanya diam itu emas! Cara paling aman menghadapi konflik, ya itu tadi, bersikap netral. Kalau mau jujur, bukankah orang-orang yang katanya beragama, yang katanya cinta bangsa, yang katanya sangat prihatin dan peduli pada negeri ini, sering mengambil sikap untuk tidak bersikap (netral), biarpun manakala yang dipersoalkan adalah menyangkut masalah keadilan dan kebenaran. Banyak contoh; kasus korupsi, kasus perebutan kekuasaan yang tidak sah, kasus perampokan tidak langsung milik rakyat, kasus pemanipulasian berskala nasional, kasus perusakan nama baik orang berintegritas demi melindungi kelompok dan kantong pribadi, dll. Lebih banyak justru yang cenderung seperti Pilatus, lebih suka ‘cuci tangan’ daripada ambil resiko gara-gara berani memilih. "YA" atau "TIDAK". Kita harus seperti anak panah yang meninggalkan busurnya. Berani meninggalkan singgasana kenyamanan kita ketika berpihak pada yang benar. Kalu kita (secara umum, termasuk lembaga-lembaga hukum, lembaga-lembaga keagamaan, wakil-wakil rakyat di dewan.) berani dengan jelas untuk TIDAK berpihak kepada keadilan, kepada apa yang benar, maka sesungguhnya kita sementara menyerahkan keadilan dan atau kebenaran itu untuk dikuburkan..... Karena tidak lama lagi itu akan lenyap dari negeri ini. Saya gemas melihat sikap para oportunis-oportunis, serta petualang-petualang politik jaman sekarang. Apa itu ...? Seperti yang pernah saya tuangkan disinihttp://sosbud.kompasiana.com/2011/03/10/bunglon-berbatik/ Mereka lebih merasa aman di pihak yang banyak. Takut berada dalam posisi minoritas. Kurang berani menghadapi tekanan mayoritas. Ada pertanyaan seperti ini : Apakah salah untuk memperhatikan keinginan banyak orang? Jawabnya, tentu saja tidak! Perbedaan yang paling dasar antara "tirani" dan "demokrasi" terletak disitu. Tirani memaksakan kehendak satu orang (persis seperti para ditaktor), dan menyepelekan aspirasi banyak orang. Tapi sebaliknya demokrasi menghormati kepentingan banyak orang. Namun, persoalan kita yang paling utama dalam hal ini bukanlah soal banyak atau sedikit. Dalam kasus kasus keserakahan dan kerakusan para penguasa serta penyalahgunaan kekuasaan, ketidak adilan hukum, untuk semuanya itu semboyan Vox Populi, Vox Dei ( suara rakyat, suara Tuhan) terbukti salah. Sangat terlihat bahwa gampang betul semangat rakyat dibengkokkan menjadi amuk massa, kerusuhan dan bahkan perang saudara! Sudah banyak contoh yang terjadi. Mereka melakukan segala cara untuk melanggengkan kekuasaan dan menutupi kebrobokannya. Oleh karenanya akar permasalahannya sesungguhnya bukan "banyak" atau "sedikit" melainkan "benar" atau "salah". Marilah kita lebih berpihak pada apa yang benar bukan pada apa yang banyak. Sebab yang banyak itu belum tentu benar. Memang sakit untuk berada pada posisi "sedikit". Lihat saja perjuangan memberantas korupsi --- dengan pedih kita bisa kita katakan --- baru oleh segelintir orang atau penguasa yang sungguh-sungguh melakukannya. Contoh sederhana apa yang dialami teman saya di kampung halamannya di Airmadidi sana dalam perjuangannya menentang ketidak-adilan. Menentang korupsi. Ketika dia lagi mengadakan seminar tentang prilaku-prilaku pejabat yang korup. Eeeh ia malah diamuki massa (yang kayaknya sudah dibayar). Betapa perjuanagn demi keadilan dan kebenaran hampir selalu diawali sebagai perjuangan sekelompok kecil orang. Itu tentu tidak mengenakkan, rentan terhadap teror, tekanan serta ancaman dari yang BESAR dan yang BANYAK pasti akan selalu menghiasi perjuangan-perjuangan tersebut. ……Kembali ke cerita kebakaran di Paniki waktu itu. Saya dan paman saya serta beberapa warga mengambil resiko untuk tidak hanya mengurung diri di kamar atau lari tunggang langgang. Kami bersepakat untuk berusaha memadamkan api dan bersolidaritas dengan mereka yang rumahnya terbakar. Dimana kita ketika bangsa ini sedang bergumul.......?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun