Mohon tunggu...
Michael D. Kabatana
Michael D. Kabatana Mohon Tunggu... Relawan - Bekerja sebagai ASN di Sumba Barat Daya. Peduli kepada budaya Sumba dan Kepercayaan Marapu.

Membacalah seperti kupu-kupu, menulislah seperti lebah. (Sumba Barat Daya).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Soal Kerja: Belajar dari Kearifan Marapu

20 Desember 2016   12:08 Diperbarui: 20 Desember 2016   12:18 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
kerajinan tangan orang sumba dahulu | metmuseum.org

Mari belajar dari kearifan marapu. Ajakan ini kiranya bagi sebagian orang merupakan hal yang tidak lazim, di luar kebiasaan dan bahkan dinilai liar dan gila. Orang yang beranggapan seperti ini, tentu saja bahwa yang melatari pemikirannya adalah arogansi dan ketertutupan diri terhadap nilai-nilai dan kearifan kelompok, budaya atau kepercayaan lain. Orang tidak berani terbuka untuk menerima nilai dan kearifan lain di luar status quo yang ia miliki.  

 Pada tahun 1543, Kopernikus mengemukakan teori bahwa sesungguhnya bumi, serta planet-planet lain, beredar mengitari matahari. Gagasan ini bertolak belakang sama sekali dengan pandangan Aristoteles dan tafsir Kitab Suci saat itu. Gagasan itu harus dianggap salah, bukan karena terbukti salah,  namun semata karena bertentangan dengan pandangan yang telah dianut selama dua ribu tahun. 

Demi keterbukaan dan kebenaran ada sekian banyak orang hebat dan brilian dipenjara, dipasung kebebasannya dan bahkan dibunuh. Mari jangan terantuk pada batu kesalahan yang sama. Kisah ini harusnya menjadi kisah yang mengispirasi setiap manusia soal keberanian untuk terbuka  dan keluar dari tempurung yang menutupinya.

 Salah satu hal yang suka dibicarakan dalam hidup ini adalah soal kerja. Kerja bukan saja sebagai media untuk mencari nafkah hidup, tetapi menunjukkan eksistensi manusia. Bekerja itu susah, tetapi lebih susah lagi jika tidak mempunyai pekerjaan. Landasan untuk memahami kerja terletak pada pemikiran bahwa setiap manusia dianugerahi kemampuan untuk melakukan sesuatu dan perasaan intuitif untuk membedakan antara apa yang harus dilakukan, yang benar dan apa yang tidak boleh dilakukan, yang salah.

 Kerja yang bertanggung jawab terhadap orang-orang lain harus muncul dari rasa keadilan bukannya dilaksanakan atas dasar belas kasih atau emosi. Mengapa kita harus mengambarkan tanggungjawab dengan keadilan dari pada belas kasih atau emosi? Hal ini karena belas kasih atau emosi tidak dapat menjadi basis bagi kerja yang berkualitas karena hakikat relasi itu cenderung bersifat ekslusif dan lupa pada pihak ketiga. 

Belas kasih, katanya, berarti hidup seolah-olah hanya ada orang yang merasa unggul dan yang dikasihani itu di dunia ini dan pada hakikatnya itu berarti katidaktulusan dan ketidaktotalitasan kepada sesuatu yang berada di luar itu. Dalam hal ini, keberadaan pihak ke tiga hanya akan dirasakan sebagai gangguan belaka, padahal  kerja menuntut sebuah ketotalan dalam arti tanggung jawab yang penuh.

 Budaya Marapu menawarkan nilai dan kearifan yang sekiranya menjadi solusi atas persoalan kerja. Nilai dan kearifan itu termaktub dalam kata-kata iya ate-iya teki. Apa yang dimaksudkan orang marapu dengan ungkapan ini? Mari kita telaah lebih mendalam.

Pertama, iya ate. Ungkapan iya ate jika diterjemahkan secara harfiah berarti satu hati. Penggunaan kata hati dalam masyarakat Sumba berarti menjelaskan tentang perasaan. Jadi satu hati dapat diartikan sebagai satu perasaan. Orang berkumpul bersama, berdialog dan saling tolong menolong karena dilandaskan pada hati atau perasaan yang sama. Perasaan yang sama itu sendiri bisa datang dari perasaan senasib, kekerabatan, teman seperjuangan atau seperjalanan atau lain sebagainya. Kata ate atau hati juga bisa berarti diri atau keseluruhan jiwa dan badan. Jadi, ungkapan iya ate bisa berarti satu tubuh atau seluruh tubuh secara utuh. 

Dengan demikian, mengungkapkan iya ate berarti ada penyerahan diri secara total terhadap pekerjaan yang akan dilakukan. Mengapa bukan satu pikiran? Hal itu dikarenakan ada anggapan bahwa kerja pada tataran pikiran berarti hanya sebatas ide. Ide berbeda berarti kemandekan bagi kerja sama. Kerja pada tataran iya ate berarti berusaha trlibat dalam kerja dengan menanggungkan diri pada seluruh keterlibatan jiwa badan. Jalan pergi kepada penghiatan pun tertutup.

Kedua, iya teki. Ungkapan iya teki secara harfiah bisa berarti satu perkataan. Satu perkataan tidak berarti satu kata. Hal ini sebenarnya mau mengungkapkan ada suatu kesepakatan. Satu kata sepakat dapat diartikan sebagai komitmen. Jadi, iya teki memiliki arti satu komitmen. Banyak orang mungkin mengenal kata komitmen, tetapi belum tentu mengerti arti kata komitmen itu sendiri. Jika perngertian terhadap makna komitmen itu sendiri sudah menjadi tanda tanya bagi sebagian orang lantas bagaimana bisa diharapkan bahwa kata komitmen itu sendiri menjiwai seseorang atau sekelompok orang. Sudah ada nilai dan kearifan local yang ada dalam budaya Sumba yang melampaui pengertian komitmen itu sendiri. 

Kearifan yang dapat dengan mudah bahkan sudah menjadi bagian dan menjiwai orang Sumba itu sendiri.. Dalam ungkapan iya teki ada dua jenis komitmen yang hendak diungkapkan yaitu komitmen pribadi dan komitmen bersama. Komitmen pribadi merupakan etos atau spirit setiap pribadi terhadap kerja yang dihadapi. Komitmen bersama adalah kesepakatan sebagai satu kelompok dalam menyelesaikan perkerjaan tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun