Mohon tunggu...
Michael D. Kabatana
Michael D. Kabatana Mohon Tunggu... Relawan - Bekerja sebagai ASN di Sumba Barat Daya. Peduli kepada budaya Sumba dan Kepercayaan Marapu.

Membacalah seperti kupu-kupu, menulislah seperti lebah. (Sumba Barat Daya).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Solutifkah Regulasi tentang Adat untuk Mengentas Masalah Sosial?

9 Juni 2019   16:43 Diperbarui: 10 Juni 2019   16:36 432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kampung Adat Prai Ijing di dekat ibu kota Kabupaten Sumba Barat (Dok.istimewa)

Ketika membuat tulisan ini ada pertanyaan yang muncul dalam kepalaku. Kira-kira begini. Apakah lewat tulisan ini saya mampu menyajikan setidaknya sebuah hidangan pembuka berisi pemikiran kritis yang dapat menghantar pembaca kepada menu utama berupa diskusi-diskusi yang lebih sedap dan hangat tentang intervensi pemerintah pada ranah adat untuk memecahkan berbagai persoalan di masyarakat seperti kemiskinan, banyak anak-anak yang tidak bersekolah dan lain sebagainya?

Tentu saja tulisan ini bukanlah obat ajaib untuk menyembuhkan penyakit sosial yang ada dalam masyarakat. Tetapi setidaknya bisa menjadi diagnosa awal bagi semua orang untuk berpikir lebih kritis menemukan akar masalah sosial kemasyarakatan agar move on dari situasi sekadar menyalahkan adat lalu mengintervensi secara langsung ranah adat dan budaya lewat regulasi.

Ketika globalisasi melindas suatu daerah, pola pikir masyarakat di daerah tersebut ikut berubah. Ada dua dampak yang terbawa serta dalam proses perubahan ini yaitu peningkatan kualitas hidup ke arah yang semakin baik atau penurunan kualitas hidup. 

Sebenarnya, menilai kualitas hidup manusia apakah semakin menurun atau meningkat masih merupakan sebuah polemik. Belum ada kesepakatan standar khusus yang dapat dijadikan rujukan. Karena itu, penilaian apakah  kualitas hidup seseorang semakin meningkat atau sebaliknya menurun tentu berbeda-beda hasil penilaiannya.

Bisa saja bagi seseorang atau sekelompok orang bahwa model dan pola hidup yang sedang dijalani sudah dilihat sebagai kualitas hidup yang semakin meningkat. Namun, bagi orang atau kelompok lain bisa jadi dinilai semakin menurun. Begitu pula sebaliknya.

Jika kita ingin meminjam standar ukuran yang dipakai oleh penganut paham utilitarianisme, maka kita harus sepakat bahwa ukurannya adalah kebahagiaan. 

Rujukan kebahagian dalam paham ini ada dua. Jika kita merujuk pada konsep pertama seperti yang dikemukan Jeremy Bentham (1748 - 1832), pencetus teori utilitarianisme, maka kebahagiaan yang dimaksud adalah kebahagiaan pelaku saja. Namun,jika kita merujuk pada konsep John Stuart Mill (1806 - 1873) maka kebahagiaan yang dimaksud adalah kebahagiaan kelompok.

Kedua konsep tersebut sebenarnya dapat dipakai sebagai standar ukur dalam pembahasan ini tanpa harus memilah distingsinya, tetapi memang sangat perlu kita paham soal distingsi tersebut supaya tidak terjebak dalam teori abal-abal. Keduanya dapat diterapkan sekaligus karena fokus persoalan yang mau dibahas adalah apakah sistem yang tercipta akibat globalisasi dapat membawa kebahagiaan bagi masyarakat atau tidak.

Tidak ada hal yang salah dengan perubahan cara berpikir, karena masing-masing orang mempunyai hak untuk menentukan sendiri pola berpikirnya, cara menilai kualitas hidupnya dan standar pengukuran yang digunakan sejauh tidak merugikan orang lain. Hal yang keliru adalah ketika terjadi pengagungan terhadap budaya global atau modernis dan menjadikannya satu-satunya kebenaran tunggal.

Hal ini kemudian yang berimbas pada penolakan, memandang kolot serta ketinggalan zaman terhadap segala sesuatu yang datang dari dalam budayanya sendiri dan mulai anti terhadap segala sesuatu yang bersifat lampau seperti adat dan lain sebagainya. 

Orang dengan pandangan seperti itu kerap kali memecahkan persoalan yang berkaitan dengan masalah ekonomi, moral, sosial dan politik, di saat terjadi kebuntuan berpikir, yang sering dipersalahkan (kambing hitamkan) adalah adat dan budaya.

Tentu saja, pandangan seperti itu merugikan bukan saja seseorang tetapi juga orang banyak, alam, kebudayaan suatu masyarakat dan sosial ekonomi banyak orang. Karena membawa ketidakbahagiaan pada orang lain maka pandangan seperti itu perlu dikritisi untuk diperbaiki dan bila perlu dirubah.

Akhir-akhir ini, pandangan yang menyatakan bahwa segala macam kebobrokan dan masalah  yang ada dalam hidup bermasyarakat datangnya dari adat kian berkembang pesat. Dalam situasi sosial di pulau Sumba yang terletak di provinsi Nusa Tenggara Timur, hal ini begitu kelihatan. Saya berharap konsep pemikiran seperti itu tidak terjadi di daerah lain.

Misalnya banyaknya anak yang tidak bersekolah dinilai karena tekanan ekonomi dan pemborosan dalam adat. Memang harus diakui bahwa ada hal-hal tertentu dari adat yang jika tidak dikelola secara baik dapat menciptakan masalah sosial. Namun, adat tidak melulu menjadi penyebab utama banyak anak tidak bersekolah. Bahkan, keluarga yang tidak mengenal adat sekalipun bisa ada dalam lingkaran anaknya tidak bersekolah.

Mari kita tengok situasi sosial di kota-kota besar. Ketika ada banyak pemulung membuat rumah di bawah kolong jembatan dan anak-anak yang menjadi peminta-minta alih-alih bersekolah, apakah hal tersebut disebabkan oleh adat? Inilah buruknya generalisasi suatu situasi dan menghakimi suatu keadaan hanya berdasarkan pandangan sosial yang ada di atas permukaan saja tanpa menyelam lebih dalam menemukan dasar persoalannya.

Pemerintah terlebih khusus lingkup pemerintah daerah juga sepertinya terserap masuk dalam pola pikir seperti ini. Perlahan namun pasti mulai ikut-ikutan mempersalahkan adat. Hal ini kian menyata lewat produksi berbagai regulasi yang mengintervensi secara langsung ranah adat. Alih-alih menjadi penetral yang merangkum, kadang sistem kerja yang diterapkan pemerintah seolah-olah berdiri bersebrangan dengan adat.

Sebenarnya, orang-orang yang bekerja dalam ranah pemerintahan itu juga adalah bagian dari masyarakat yang menjalankan adat istiadat dalam hidup sehari-hari. Hanya kadang logika sistem dan struktural memicu terjadinya jurang yang membiasakan pengelompokan posisi. Pada tataran tertentu terciptalah relasi subyek obyek antara pemerintah dan adat.

Harus diakui bahwa pemerintah mempunyai niat yang sangat baik dalam menetapkan regulasi. Regulasi yang tercipta diharapkan dapat mengatasi tantangan saman dan menjadi solusi atas berbagai persoalan sosial yang terjadi. Namun, alih-alih menjadi obat mujarab atas persoalan yang ada, regulasi itu justru menciptakan degrasi pada sektor-sektor lain. Memang aturan yang diciptakan sedikit membantu menangani suatu persoalan di satu sisi namun di sisi lain serentak membawa dampak yang lebih buruk pada berbagai aspek kehidupan.

Harus dipahami bahwa dalam konteks ini, hal yang mau dikritisi bukan semua aturan yang diproduksi oleh pemerintah dianggap tidak solutif, tetapi lebih khusus kepada aturan yang mengintervensi ranah adat. Hal ini menjadi penting, sehingga kita tidak terjebak dalam mindset serang - menyerang ide dan salah - mempersalahkan gagasan. Bahwasanya kritik dilontarkan itu bukan berarti ungkapan kebencian tetapi justru karena cinta dan menginginkan perubahan yang lebih baik ke depannya yang dampak baiknya bisa dirasakan bukan saja untuk orang lain tetapi juga bagi diri kita sendiri.

Ada berbagai macam persoalan yang melatari kepincangan dalam regulasi yang diciptakan. Bisa saja regulasi tersebut disusun tidak berdasarkan pencarian akar persoalan yang asali. Hasil dari pengamatan di atas permukaan lantas dijadikan kesimpulan untuk mengambil keputusan.

Salah satu solusi menghadapi persoalan seperti ini adalah sangat perlu pelibatan orang-orang yang benar-benar paham terhadap dunia yang akan dijadikan sasaran regulasi. Karena berbicara soal adat maka penting kehadiran peneliti anthropologi sebelum membuat keputusan final.

Akan lebih baik lagi jika anthropolog tersebut berasal dari kebuyaan dimana akan dibuatkan sebuah regulasi. Sehingga penelitian akan persoalan tidak saja hanya sebatas pada aspek kognitif tetapi juga menyentuh aspek sensimentalitas atau perasaan pelaksana adat. 

Dengan pengetahuan yang lebih komprehensif, pengalaman peneliti yang bisa dijadikan pembanding, pendekatan sensimentalitas, dan metode penelitian yang sudah diakui keabsahannya, pasti bisa menghasilkan solusi yang tentu lebih baik. Setidaknya, meminjam motto kantor Pegadaian "mengatasi masalah tanpa masalah".

Salah duanya adalah adanya pelibatan secara aktif akar rumput pelaksana adat dalam pembuatan regulasi. Hal ini untuk mencegah produksi regulasi tersebut tidak sebagai, apa yang orang Sumba sering sebut Piring Terbang (UFO), benda asing yang meneror pelaksanaan ritual adat dan sosial kebudayaan masyarakat. 

Jika piring terbang (arti harfiah) sering ditemukan ketika ada pertengkaran dalam rumah tangga, diharapkan tidak ada bukan saja piring terbang tetapi juga batu terbang (baca: kerusuhan) di ranah publik akibat munculnya regulasi yang memasung kebebasan berekspresi masyarakat.

Regulasi dibuat untuk masyarakat tetapi jika masyarakat sendiri tidak merasa memiliki kebijakan tersebut bahkan disangka aturan itu ciptaan alien dari planet Mars. Maka yang akan tercipta adalah relasi subyek obyek. Pemerintah berperan sebagai subyek pembuat regulasi dan masyarakat akar rumput sebagai sasaran regulasi.

Alhasil yang muncul adalah benturan horizontal, kebebasan berekspresi terpasung, penolakan terhadap regulasi dan kalau pun aturan tersebut tidak ditolak secara terang-terangan maka aturan tersebut tidak akan diimplementasikan dalam hidup harian oleh masyarakat. Padahal aturan dibuat untuk dilaksanakan, bukan hanya untuk sekadar dijadikan panjangan pada baliho-baliho atau teks penghias dalam diskusi-diskusi di gedung-gedung mewah.

Daripada sekadar mengintervensi ranah adat dan mengintimidasi ruang privat adat, hal yang perlu dibenahi adalah manusianya. Wawasan, Sumber Daya Manusia dan pengetahuan masyarakat perlu secara gerilya dibenahi. 

Manusia zaman sekarang sepertinya bermental kemasan dibandingkan isinya. Sejauh pujian terus berdatangan kepada kemasan yang begitu menarik, orang-orang cenderung mengabaikan isi dari kemasan itu. Ini sama halnya dengan orang lebih mementingkan gengsi untuk berpura-pura kaya, memiliki hidup mewah dan punya segalanya dibandingkan mengejar pemenuhan kebutuhan yang lebih pokok seperti kebutuhan untuk hidup sehat, dana untuk anak bersekolah dan lain sebagainya. Lebih suka cepat-cepat memperindah tampilan luar tanpa secara mendalam mempertimbangkan persoalan masa depan.

Contoh Peraturan Daerah (Perda) yang berkaitan dengan adat adalah aturan tentang lamanya orang mati disemayamkan dan batas jumlah hewan yang harus dibunuh sudah diterapkan di Kabupaten Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur. Dengan adanya Perda tersebut diharapakan dapat memperbaiki situasi kemiskinan masyarakat, namun hasil dari Perda tersebut justru membuat keadaan ekonomi masyarakat bukannya semakin membaik malah semakin memburuk. 

Dari data Badan Pusat Statistik dengan konsep ukuran kemiskinan yaitu kemampuan memenuhi kebutuhan dasar, angka kemiskinan di Sumba Tengah pada tahun 2013 adalah 83.82% dan pada tahun 2014 menjadi 87.49%. Dari data di atas kita melihat bahwa angka kemiskinan Sumba Tengah justru meningkat 3.67%.

Kita bisa menemukan titik persoalan bahwa kebanyakan warga di kabupaten Sumba Tengah dan Sumba pada umumnya adalah peternak. Ketika ada intervensi dadakan oleh pemerintah pada wilayah adat yang berimbas langsung pada sistem ekonomi masyarakat, tanpa melakukan terlebih dahulu analisa dampak dari regulasi yang diproduksi dan menyediakan pencegahan terhadap dampak buruk yang bisa timbul, maka yang tercipta adalah ketimpangan ekonomi. Permintaan pasar tiba-tiba dibatasi yang menyebabkan hasil produksi lebih besar dari permintaan pembeli. 

Lantas mau dikemanakan hasil produksi yang lebih banyak dari permintaan pasar? Seharusnya pemerintah sudah memikirkan terlebih dahulu solusi untuk mengatasi persoalan ini sebelum ditetapkan regulasi pembatasan pemotongan hewan dan lain sebagainya.

Artinya sejauh telah dipikir matang-matang dampak regulasi tersebut dan dibuat pencegahan untuk masalah-masalah serius lainnya yang dapat ditimbulkan akibat produksi regulasi, ya boleh saja aturan itu langsung diimplementasikan. Tetapi, jika semua hanya mengikuti penilaian sepintas dan regulasi diciptakan sekadar untuk coba-coba. Sebaiknya, ditinjau ulang terlebih dahulu secara matang dan holistik. Karena sayang jika masyarakat kecil yang sudah susah harus menerima penderitaan tambahan akibat produksi kebijakan yang cacat buah pemikiran yang kurang matang dari orang-orang yang tidak mau capeh untuk berpikir lebih kritis.

Adat adalah daya kreasi manusia yang sudah ditempa selama bertahun-tahun dan memiliki daya ikat spiritual. Karena itu mengintervensi adat justru akan merusak daya ikat spiritualnya dan akan menghasilkan berbagai macam hal buruk di berbagai sektor kehidupan masyarakat. Ketika daya ikat spiritual pada sektor adat perlahan hilang karena diintervensi secara langsung, maka perlahan-lahan akan menghilangkan berbagai kearifan lokal yang justru sangat berguna bagi kehidupan masyarakat dalam bidang sosial, lingkungan, ekonomi, kesehatan, politik, karekter dan lain sebagainya.

Dalam bilang sosial, pada setiap kebudayaan di Indonesia pasti ada nilai-nilai gotong royong dengan sebutan khas dalam bahasa daerah masing-masing. Misalnya di kabupaten Sumba Barat Daya, budaya itu disebut dowona, yang berarti saling bekerja sama atau saling membantu.

Di bidang lingkungan, menghadapi tantangan pemanasan global, tentu ada nilai-nilai budaya yang dapat membantu mencegah hal itu semakin melebar lewat pelestarian hutan dan mata air. 

Di Sumba Barat Daya ada istilah paweri, yang berarti mengkramatkan. Mengkramatkan dalam istilah paweri bukan berarti menyembah tetapi artinya tidak boleh disentuh atau sangat dilindungi. 

Paweri bisa diterapkan pada hutan dan mata air. Jadi dengan adanya kearifan lokal seperti paweri yang terkandung dalam adat budaya setempat banyak hutan bisa dilindungi. Lewat kearifan lokal seperti ini, bukan saja membantu mengurangi pemanasan global tetapi banyak satwa dan fauna langka dapat dicegah kepunahannya.

Itu baru segelintir kearifan lokal yang sempat disebutkan. Masih banyak kearifan lokal yang belum disebutkan disini. Di luar sana tentu lebih banyak lagi kearifan lokal yang mengandung nilai positif bagi masyarakat di setiap kebudayaan, baik yang sudah terdokumentasi maupun yang belum terdokumentasi.

Bagaimana jika berbagai kearifan lokal itu menghilang atau kehilangan daya ikatnya pada masyarakat seiring dengan hilangnya peran adat dan budaya akibat diintervensi, ditambah lagi jika tidak adanya usaha dari pemerintah sendiri untuk melakukan konservasi adat dan budaya tersebut? Bukankah berbagai kandungan nilai dan hal baik di atas akan ikut hilang? Mungkin justru yang akan hadir, seperti yang kita lihat di dunia barat, adalah meningkatnya budaya individualistik, konsumerisme dan kegamangan karakter karena seseorang tercerabut dari akar budayanya, tidak memiliki akar untuk bertahan terhadap hempasan arus globalisasi dan modernisme.

Sebaliknya, manusia adalah sesuatu yang bisa berubah dan bahkan bisa menjadi lebih baik dari sebelumnya. Setiap manusia memiliki keunikan masing-masing yang membuat satu berbeda dengan yang lain. 

Ketika seorang manusia lahir ia menjadi satu pribadi yang sama sekali baru, yang tidak pernah ada sebelumnya. Manusia yang baru lahir menjadi pemula, pendatang baru yang mempunyai potensi melakukan hal-hal baru secara tidak terduga dan tidak terbatas.

Karena itu, solusi yang mesti diambil adalah rubah cara berpikir, etos kerja dan mental masyarakatnya. Jangan melihat adat dan budaya sebagai obyek program. Sebaliknya, jadikan adat dan budaya sebagai rekan kerja untuk merubah mindset masyarakat.

Sebenarnya ada banyak nilai-nilai luhur dalam adat dan budaya yang sudah salah dimengerti oleh masyarakat. Akibat globalisasi dan modernisme, budaya dan adat kehilangan tali pengikat pada nilai-nilainya. Sudah begitu pemerintah turut masuk dan mengintervensi secara langsung ranah adat yang membikin adat kehilangan salah satu tali pengikatnya yaitu ikatan spiritual. 

Seharusnya, pemerintah ada di tengah masyarakat kecil melakukan sosialisasi, menjamin berlangsungnya pendidikan yang bermutu, menjaga secara ketat anggaran dalam setiap program untuk kemaslahatan orang banyak agar tidak dikorupsi dan hindari transaksi jual beli proyek yang merugikan masyarakat kecil,  menciptakan balai pelatihan kerja yang mendukung pekerjaan alternatif bagi para peternak dan lain sebagainya.

Di sini, tidak ada maksud untuk mengajak semua orang kembali kepada model lama dan mengaktifkan kembali peran mitos di ranah publik. Bahwasanya globalisasi dan modernisasi mesti ditolak dan adat mesti dikedepankan. Tidak demikian. Maksud dari solusi ini sederhana saja yaitu, seperti apa yang pernah dicetuskan oleh Patrick Geddes (1854 - 1932) seorang perencana kota di skotlandia, pencetus pertama konsep "think globally, act locally", kita mesti berusaha berpikir secara global tetapi sembari tidak meninggalkan budaya dan kearifan lokal yang ada.

Semua orang tentu menginginkan sebuah kehidupan yang bahagia bukan saja para penganut aliran utilitarianisme. Karena itu, memberi kritik terhadap berbagai kebijakan yang menyangkut kepentingan umum adalah bagian dari proses pencarian kebahagiaan. Pelaksana adat tentu menginginkan kehidupan yang bahagia, begitu pula pemerintah juga berharap masyarakatnya keluar dari berbagai masalah sosial agar bisa hidup bahagia.

Masyarakat pelaksana adat dan pemerintah mesti bekerja sama mengentas patologi sosial yang semakin meningkat. Di satu sisi, pemerintah mesti merangkum pelaksana adat sebagai rekan kerja dan bukannya sasaran program. 

Di sisi lain, masyarakat adat mesti lebih inklusif dalam merespon program pemerintah, terbuka kepada pandangan baru serentak tetap menjaga nilai-nilai positif dan kearifan lokal yang terkandung dalam adat dan budaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun