Mohon tunggu...
Michael D. Kabatana
Michael D. Kabatana Mohon Tunggu... Relawan - Bekerja sebagai ASN di Sumba Barat Daya. Peduli kepada budaya Sumba dan Kepercayaan Marapu.

Membacalah seperti kupu-kupu, menulislah seperti lebah. (Sumba Barat Daya).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mungkinkah Pancasila Menyesal Telah Dilahirkan?

1 Juni 2019   17:03 Diperbarui: 1 Juni 2019   18:44 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.stratpost.com 

Tanggal 1 Juni didedikasikan sebagai hari lahirnya Pancasila. Kelahiran selalu menandai akan kehadiran sesuatu yang baru. Biasanya, sesuatu yang baru itu membawa dalam dirinya dua potensi sekaligus. Pertama potensi yang dapat menghadirkan sesuatu yang baik bagi manusia dan kedua adalah potensi membawa sesuatu yang buruk atau menghancurkan. Dengan keyakinan yang sangat besar, saya yakin bahwa kelahiran pancasila, sesuai yang semua orang harapkan, tentu menjadi penuntun bagi bangsa Indonesia kearah yang lebih baik.

Ketika terjadi pergolakan dalam masyarakat, tepatnya 74 tahun yang lalu lahirlah bayi bernama pancasila. Seluruh keresahan dan kekwatiran masyarakat yang berjumlah seratus juta lebih dilimpahkan kepadanya.  Harapan besar akan tuntunan kearah kehidupan yang lebih baik diletakkan di atas pundaknya. Masyarakat lega bahwasanya hadir penuntun arah dalam hidup berbangsa dan bernegara. Mereka mengakuinya tanpa ragu sebagai cahaya yang dapat menerangi jalan bangsa Indonesia pada kegelapan malam.

Karenanya, ditetapkan agar setiap tahun hari kelahirannya selalu dirayakan. Sebenarnya, setiap kali merayakan ulang tahunnya, harapan, cita-cita dan mimipi-mimpi besar diletakkan kembali pada pundak pancasila. Bahkan di gedung-gedung besar dan sekolah-sekolah, pancasila dipajang di tempat yang tinggi. Hal ini bukan saja sekadar agar mudah dilihat oleh semua orang yang hadir. Tetapi lebih dari itu agar bisa menjadi penuntun dan pengingat akan arah hidup berbangsa dan bernegara model apa yang ingin dituju.

Setelah 74 tahun, tepatnya sekarang, jika ia seorang manusia, tentu saja bukan lagi umur yang muda. Ia dipajang di posisi strategis yang cukup tinggi sehingga mudah dilihat, tetapi sekaligus menjadi sasaran yang empuk bagi "pemburu" yang cinta ketidakadilan, radikaslime dan separatisme. Sekian lama ia terhindar dari berbagai tembakan para "pemburu" yang haus kekuasaan dan berkarakter tirani. Mungkin karena ia kebal terhadap benda tajam atau mungkin hebat berkelit dari gempuran para "pemburu". Tidak salah jika ia diberi julukan pancasila sakti. Mungkin benar ia memiliki kesaktian makanya selalu berhasil selamat dari berbagai ancaman yang ingin membunuhnya.

Lalu dimana posisi kita? Apakah kita menjadi pendukung para "pemburu" atau sebaliknya kita berdiri di samping pancasila. Kalau selama ini jika kita kadang sudah berlaku berseberangan dengan ide-idenya, tidak hadir saat ia diteror para "pemburu" dan menjadikannya hanya sekadar pajangan nirmakna pada tembok-tembok yang sering kita tengadah, maka sudah saatnya kita berubah. Kita yang memaksanya terlahir dari rahim pertiwi agar bisa menjadi penuntun bagi arah langkah kaki berbangsa dan bernegara kita, lantas kita sendiri lagi yang mulai mengabaikannya.

Jika kita bertanya apakah kita mesti membela pancasila? Jawabannya adalah ya, mesti. Tetapi pembelaan yang ia butuhkan bukan pembelaan lewat kekerasan. Pancasila tentu tidak mengharapkan kita berpakaian seragam perang dengan senjata digenggam pada tangan kanan dan kiri. Ia hanya butuh kita mengamalkan sila-sila yang sudah tersusun dengan rapi dan penuh arti pada tubuhnya. Itulah cara kita membela pancasila.

Kiranya dua cara yang dapat kita terapkan dalam mengamalkan nilai pancasila. Pertama adalah berkawan akrab dengan pancasila. Kehangatan dan keakraban dalam pertemanan itu mesti terejahwantah lewat penghayatan nilai-nilai pancasila. Kita bukan saja sekadar menghafal sila-sila yang terkandung dalam pancasila, tetapi juga menghayati lalu mengamalkannya dalam hidup sehari-hari.

Mesti ada keberanian untuk keluar dari ideologi-ideologi primordial kita untuk masuk dan menerima keberadaan pancasila. Nilai-nilai pancasila menjadi rumah besar yang mempertemukan segala perbedaan dan persamaan kita. Di dalam rumah ini kita bukan menjadi tamu atas ideologi pancasila melainkan menjadi tuan rumah yang menjaganya.

Kedua memandang warga Indonesia yang lainnya sebagaimana memandang pancasila. Pancasila bukan lagi hanya sekadar lambang yang dipajang. Bukan pula sekadar ideologi yang hanya habis diperdebatkan dan didiskusikan dalam seminar dan pertemuan-pertemuan. Pancasila harus dilihat sebagai warga Negara Indonesia itu sendiri. Harus ada asumsi ini dalam diri, bahwa ketika kita menghargai perbedaan orang lain, menghormati agama, ras, suku, kelompok dan golongan orang lain berarti kita sudah mengapresiasi keberadaan pancasila itu sendiri.

Sepertinya agak ganjil memang jika pada satu sisi manusia Indonesia menginginkan kelahiran sebuah ideologi yang dapat mempersatukan semua perbedaan dan persamaan serentak di sisi lain mengingkari dan tidak mempraktekkan nilai-nilainya dalam hidup harian.

Kelahiran pancasila diharapkan menjadi penuntun langkah kaki kita dalam hidup berbangsa dan bernegara. Tugas itu sudah dijalankan oleh pancasila dengan sangat luhur lewat sila-silanya. Persoalannya sekarang adalah apakah kita mau dituntun dan dipersatukan. Seandainya pancasila adalah manusia, jika ia melihat keadaan bangsa dan negara kita seperti sekarang ini, mungkinkah ia akan menyesal telah dilahirkan?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun