Mohon tunggu...
Michael Hananta
Michael Hananta Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Mahasiswa.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

LGBT di Indonesia: Kalau Ditolak, Apakah [Bisa dan Harus] Diberantas?

13 Juni 2016   20:06 Diperbarui: 13 Juni 2016   20:28 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rainbow flag sebagai bendera pergerakan LGBT. Sumber: www.altreading.com

Lesbian, gay, biseksual, dan transgender. Menurut saya topik ini sangatlah rumit. Mau pro atau mau kontra, dua-duanya serba salah. Pasalnya, membicarakan topik ini dari perspektif seorang yang straight dalam konteks orientasi seksual akan jauh berbeda dengan orang-orang yang, well, LGBT sendiri. Indonesia sebagai negara yang berketuhanan tampaknya memang bisa dianggap "kaget" ketika dihadapkan dengan isu LGBT ini.

Saat ini adalah bulan Juni 2016 dan ada baiknya kita mengingat momen "bersejarah" yang terjadi hampir tepat tahun lalu. Dunia sempat heboh ketika Supreme Court Amerika Serikat pada 26 Juni 2015 lalu memutuskan untuk melegalisasikan pernikahan sesama jenis (atau singkatnya, melegalkan hubungan gay dan lesbian) dalam kasus Obergefell v. Hodes. Tidak lama setelah itu banyak figur yang menyampaikan "kebanggaan" akan legalisasi ini. Namun banyak juga orang-orang dan komunitas yang menunjukkan tendensi anti-LGBTnya, termasuk di Indonesia.

Beberapa pejabat negara kita juga sempat mengungkapkan pendapatnya mengenai LGBT, dan kita dapat menyimpulkan bahwa mereka memang cenderung anti-LGBT. Pertama, pernyataan dari Menteri Pendidikan Anies Baswedan. Anies beranggapan bahwa LGBT merupakan perilaku menyimpang. Beliau juga "menghimbau" masyarakat supaya memperdalam nilai-nilai yang telah dijunjung tinggi bangsa Indonesia, termasuk nilai agama dan Pancasila sendiri. Beberapa tokoh wakil rakyat seperti Zulkifli Hasan juga menyatakan pandangan anti-LGBTnya, dengan menganggap LGBT sebagai "perusak nilai moral bangsa", dan menuntut pemerintah bertindak tegas. Bahkan Menristek Dikti, M. Nasir, sempat berkicau di akun Twitternya yang menyatakan bahwa LGBT tidak boleh masuk di lingkungan kampus dengan alasan "kaum LGBT bisa memicu hubungan seks dalam kampus", meskipun akhirnya beliau mengklarifikasi bahwa poin yang ia sampaikan adalah ketidakinginannya lingkungan kampus menjadi lingkungan yang tidak bermoral. Pernyataan Reni Marlinawati selaku anggota Komisi X DPR juga tidak jauh beda. Beliau membuat statement yang menegaskan bahwa DPR mengingatkan larangan terhadap LGBT di Indonesia.

Masyarakat Indonesia juga bereaksi cukup ganas mengenai isu LGBT. Saya ambil contoh yang terjadi di Yogyakarta bulan Februari kemarin. Di kubu pro-LGBT adalah Solidaritas Perjuangan Demokrasi (SPD), sedangkan di kubu anti-LGBT adalah Forum Umat Islam (FUI). SPD berargumen bahwa kaum LGBT sebagai bagian dari masyarakat marginal perlu mendapat perlindungan dari pemerintah. Sedangkan FUI berargumen bahwa perilaku LGBT merupakan perilaku kotor dan sesungguhnya bisa "disembuhkan".

Demonstrasi terkait LGBT di Yogyakarta. Sumber: bbc.com
Demonstrasi terkait LGBT di Yogyakarta. Sumber: bbc.com
Ketika melihat fenomena pro-kontra LGBT di Indonesia, saya hanya bisa menyimpulkan satu hal: bangsa Indonesia belum siap menerima LGBT.

Perdebatan mengenai LGBT tidak akan ada habisnya. Membicarakan LGBT dari segi manapun, termasuk aspek kesehatan, psikologi, nilai, norma, agama, kebiasaan, atau aspek-aspek lain, sama-sama sulitnya. Banyak sekali faktor meyakinkan yang mengharuskan kita mengakui bahwa LGBT dapat dibenarkan. Namun banyak pula alasan kuat yang menegaskan bahwa LGBT adalah kelainan dan tidak boleh dibiarkan berkembang di Indonesia. Saya bukan ahli dalam isu ini, tapi saya mengakui bahwa sulit sekali untuk menentukan apakah kita pro-LGBT atau anti-LGBT. Well, setidaknya saya rasa sebagian besar masyarakat Indonesia akan cenderung anti-LGBT.

Dari segi kesehatan, kaum pro-LGBT menegaskan bahwa LGBT bukanlah semata-mata hanya disebabkan faktor lingkungan saja, tetapi sudah bisa terjadi secara psikologis dalam diri orang itu sendiri. Akan tetapi, kaum anti-LGBT beranggapan bahwa LGBT adalah hasil dari penyimpangan seksual yang disebabkan oleh faktor lingkungan maupun psikologi seseorang yang sudah bobrok. Perdebatan pun berlanjut dengan mosi "Apakah LGBT bisa disembuhkan?". Untuk menjawabnya pun tidak bisa serta-merta dibuktikan secara medis apakah memang jawabannya ya atau tidak. Lagi-lagi, perdebatan mengenai LGBT tidak bisa dicari jalan keluarnya dari segi kesehatan.

Kebanyakan masyarakat Indonesia mengaitkan LGBT dengan nilai-nilai agama. Berbagai komunitas beragama menolak keras LGBT dengan alasan tidak sesuai dengan norma agama, entah itu terkait sodomi, pelanggaran kodrat, dsb. LGBT juga dianggap sebagai pelanggaran terhadap sila pertama Pancasila, yang lagi-lagi, terkait dengan norma agama.

Hal yang menjadi keprihatinan saya adalah eksistensi kaum LGBT di Indonesia sendiri. Oke, sebagian besar masyarakat Indonesia menganggap bahwa LGBT memang dilarang secara agama. Namun yang ingin saya soroti adalah nasib mereka, kaum LGBT, yang telah mendapat stigma buruk sebagai "penyimpang sosial". Saya prihatin ketika banyak komunitas transgender semakin ditolak masyarakat dan semakin terpinggirkan. Ketika Pesantren Waria di Yogyakarta dituntut oleh Front Jihad Islam dan akhirnya ditutup, saya memikirkan bagaimana nasib para waria yang "diusir" tersebut. Mungkin banyak yang tidak menyadari betapa sulitnya hidup sebagai kaum LGBT, dikucilkan oleh masyarakat dan dianggap sebagai pendosa berat. Saya khawatir, LGBT yang kelihatannya tidak eksis di Indonesia, justru bersembunyi karena takut menjadi buah bibir masyarakat. Saya prihatin, mereka yang menyatakan diri sebagai "pejuang memerangi LGBT", justru telah kehilangan jiwa kemanusiaannya melalui sikapnya terhadap kaum LGBT.

Banyak pula orang yang beranggapan bahwa LGBT merupakan hasil dari kehidupan liberal dan sekuler dari negara-negara Barat, dan akhirnya menular kepada bangsa Timur termasuk Indonesia. Namun apakah memang mutlak demikian? Kita perlu mendengar orang-orang yang berteriak-teriak "Saya sudah menyadari diri sebagai gay/lesbian sejak kecil," atau "Saya sedari kecil merasa wanita namun terperangkap dalam tubuh laki-laki (ataupun sebaliknya)." Mau contoh? Dorce Gamalama. Jadi, tidak sepenuhnya benar bahwa LGBT adalah "produk Barat".

Saya bisa mengatakan bahwa bangsa ini memang belum siap menerima LGBT dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Saya tidak menyalahkan identitas bangsa Indonesia sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan agama. Identitas ini justru merupakan sesuatu yang patut kita banggakan sebagai suatu bangsa yang berakhlak tinggi, di tengah dunia yang semakin "edan" ini. Baiklah kalau Indonesia masih cenderung anti terhadap LGBT. Namun, apakah sikap anti-LGBT kita menghalangi kita untuk mau menerima kaum LGBT dengan segala keadaan mereka?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun