Mohon tunggu...
Calvin Dharmawan
Calvin Dharmawan Mohon Tunggu... Lainnya - SMP Kolese Kanisius

Seorang pelajar yang memiliki antusiasme yang tinggi terhadap dunia perpolitikan Indonesia dan acara-acara yang menarik di Kolese Kanisius.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kita Milenial Kita Toleran

3 Desember 2022   15:50 Diperbarui: 3 Desember 2022   16:02 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Indonesia, suatu bangsa yang terkenal akan harta kekayaan budayanya yang melimpah. Membentang dari Sabang hingga Merauke, ribuan etnik serta bahasa tersebar di segenap penjuru negeri. Berbanggalah jadi orang Indonesia, karena bangsa luar pasti iri melihat kita. Keindahan ini patut kita lestarikan bersama sebagai anugerah dari Yang Maha Kuasa, karena bangsa ini bisa kuat berkat keberagamannya.

 Sayangnya akibat pengaruh globalisasi serta modernisasi, kekayaan tersebut kian hari kian memudar. Perkembangan teknologi yang semakin mempermudah akses informasi dan pengetahuan, ternyata juga merupakan jalur masuk bagi unsur-unsur kebencian serta intoleransi di tengah masyarakat, terutama melalui kalangan remaja generasi milenial yang giat berselancar di dunia maya.

Dari segala kelompok masyarakat, kaum remaja jelaslah yang paling rentan untuk terpapar dengan paham-paham radikal serta intoleransi seperti itu. Dengan frekuensi yang paling tinggi dalam hal mengakses media sosial, mereka menjadi sasaran yang empuk bagi paham-paham tersebut, karena sudah menjadi hal yang biasa untuk paham-paham seperti itu beterbangan dengan leluasa di tengah di arus pertukaran informasi ini. Candaan-candaan yang mengandung unsur SARA, bersifat diskriminatif, ataupun berbau intoleransi, selalu terbuka untuk umum di sosial media dan sudah biasa menjadi konsumsi publik sehari-hari, terutama bagi kalangan remaja.

Tanpa disadari,  konten-konten yang sekilas tampak lucu dan menghibur tersebut sangat mungkin merasuki para konsumen lalu merusak moral serta pola pikir mereka terkait topik suku dan ras. Ditambah lagi, pada rentang usia ini, kelompok remaja masih belum sepenuhnya matang dengan pendiriannya dan masih seringkali mencari hal-hal baru untuk menemukan jati diri mereka sendiri. 

Maka dari itu, para remaja cenderung mengikuti trend dan lebih mudah terpengaruh oleh hal-hal yang sudah dianggap viral dan "keren". Karena konten-konten sejenis itu sudah seakan-akan menjadi makanan sehari-hari bagi mereka, para remaja dapat mengira bahwa hal tersebut memang patut ditertawakan dan layak untuk dijadikan sebagai bahan lelucon. Selain itu, tuduhan-tuduhan atau hinaan-hinaan yang dilontarkan di media sosial terhadap kaum etnis tertentu, dapat benar-benar tertanam dalam pemikiran para remaja yang mampu memancing timbulnya rasa kebencian buta terhadap kaum etnis tersebut tanpa mengetahui kebenarannya. Banyaknya remaja yang termakan hoax seperti ini juga dapat melahirkan stigma baru terhadap suatu kelompok tertentu di tengah masyarakat sehingga munculah tindakan-tindakan yang diskriminatif dan bersifat intoleran tanpa dasar yang jelas.

 Hal tersebut tentunya menjadi keprihatinan bagi kita semua, dan karena itu, kitalah yang harus berani menjadi pionir dalam menjaga perdamaian di tengah perbedaan ini, serta bekerja sama memerangi sikap intoleransi. Perilaku tersebut merupakan ancaman yang besar bagi keberlangsung hidup berbangsa dan bernegara di Indonesia, karena berpotensi memecah belah masyarakat dan meruntuhkan persatuan bangsa. Maka dari itu, sikap intoleran tidak layak berada di negeri ini dan harus segera dimusnahkan dari kehidupan bermasyarakat.    

Berdasarkan KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), intoleransi adalah ketiadaan tenggang rasa. Menurut Hunsberger, tindakan intoleransi dilatari oleh  prasangka yang berlebihan. Terdapat 3 komponen intoleransi, yakni tidak mampu menahan diri dan tidak suka dengan orang lain,  menentang sikap atau keyakinan orang lain, dan dengan sengaja mengganggu orang lain. Secara keseluruhan, dapat disimpulkan bahwa intoleransi merupakan sikap ketiadaan tenggang rasa dengan penentangan serta penolakan yang disebabkan oleh adanya perbedaan, prasangka, dan rasa tidak suka.

Sebagai negara majemuk dengan pluralitas yang tinggi, Indonesia sangat rawan terhadap sikap intoleransi. Intoleransi suku, ras, dan agama, seringkali menimbulkan perpecahan dan menjadi permasalahan di dalam kehidupan masyarakat. Apabila seseorang merasa suku, ras, atau agamanya adalah yang terbaik, maka ia tidak akan mampu menghargai suku, ras, serta agama orang lain. Ketidakmampuan seseorang untuk memandang suku, ras, dan agama orang lain sebagai setara inilah, yang menyebabkan intoleransi. Padahal, sikap toleransi dalam menyikapi perbedaan-perbedaan tersebut adalah kunci utama dari persatuan bangsa.

Sikap-sikap intoleransi, terutama sikap intoleransi antar umat beragama, sudah beberapa kali pernah terjadi di Indonesia. Salah satunya adalah, kasus pembakaran masjid di Papua pada tanggal 17 juli 2015. Peristiwa ini berawal dari pertikaian antara jemaat Gereja Gidi dengan umat muslim, karena umat muslim yang pada hari itu sedang merayakan Idul Fitri, tidak menuruti permintaan dari jemaat Gereja Gidi untuk tidak menggunakan pengeras suara. Karena merasa tidak senang, jemaat Gereja Gidi ingin protes, tetapi dihalau oleh kepolisian. Akhirnya, kerusuhan pun terjadi dan berakhir dengan pembakaran masjid. Aksi pembakaran masjid tersebut menyebabkan konflik antara umat Kristen dan juga umat muslim di wilayah setempat selama beberapa hari kedepan. Sikap intoleransi ini tentunya sangat merusak kerukunan hidup antar umat beragama di Papua. Bila tidak ditangani dengan baik, sikap intoleransi ini dapat berakibat lebih fatal dan berpotensi menjadi akar dari perilaku radikalisme.

Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), radikalisme adalah paham atau aliran yang menginginkan perubahan sosial dan politik secara drastis dengan cara kekerasan. Menurut Moskalenko dan McCauley, paham radikalisme membenarkan tindak kekerasan sebagai satu-satunya jalan untuk menciptakan perubahan. Partanto dan Al Barry berpendapat, bahwa radikalisme adalah paham politik yang menghendaki perombakkan besar sebagai jalan untuk mencapai taraf kemajuan. Dengan demikian, dapat disimpulkan melalui ketiga pengertian di atas, bahwa radikalisme merupakan paham atau aliran yang ingin menciptakan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik secara besar-besaran dengan menggunakan jalan kekerasan.

Sebagai sebuah negara yang telah berdiri selama 75 tahun, Indonesia sudah beberapa kali berpengalaman menghadapi kasus-kasus radikalisme yang mengancam persatuan bangsa. Menurut catatan sejarah, serangan berbau radikal sudah pernah terjadi beberapa kali di beberapa tempat di Indonesia, seperti Pengeboman Gedung WTC pada tanggal 11 September 2001, Bom Bali 1 pada tanggal 12 Oktober 2002, yang disusul dengan Bom Bali 2 pada tanggal 1 Oktober 2005, dan Bom Sarinah Jakarta Pusat pada tanggal 14 Januari 2016. Ketika terjadi serangan-serangan tersebut, dunia ikut tersentak dan berduka bersama Indonesia. Serangan radikalisme yang dilakukan tidak hanya menyebabkan jatuhnya korban jiwa, tetapi juga merusak perdamaian. Peristiwa pengeboman yang terjadi, dikait-kaitkan dengan gerakan Islam fundamentalis-radikal yang berada di bawah pimpinan Osama bin Laden. Selain itu, beredar juga rumor bahwa kelompok ISIS bersama dengan segala organ-organnya telah menebar pengaruhnya di Indonesia. Para umat Islam, tentu saja tidak bisa menerima tuduhan bahwa Pengeboman Gedung WTC dan Bom Sarinah Jakarta Pusat, berkaitan dengan Islam sebagai suatu institusi agama. Hal tersebut akan merepresentasikan agama Islam sebagai agama berideologi terror, yang tentunya sangat memperburuk pandangan terhadap agama Islam di mata agama lainnya. Melalui hal tersebut, sangat terlihat jelas bahwa topik agama yang bersifat sensitif, sangat berpotensi untuk memicu terjadinya kekerasan dan permusuhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun