Tepat pada tanggal 25 November, diperingati dan dimaknai sebagai Hari Guru Nasional. Tafakur pada diri, tentang sudah seberapa sikap bijak yang diampu sehingga layak menjadi cermin terbaik bagi para murid. Â Refleksi pada hati, tentang telah sebarapa melangit inspirasi yang saya miliki sehingga layak menjadi inspirasi bagi para murid. Menelusuri ruang kesadaran dan kemanfaatan, tentang seberapa luhung keilmuan dan dan seberapa meluas kemanfaatan di tengah masyarakat.
Jika ideliasme Kartini mengabadi dalam sebuah karya tulis yang dibidani oleh Armin Pane berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang, konteks hijrah Rasulullah Rasulullah Saw pun menjadi sebuah kelanggengan filosofi "dari Jahiliyah menuju Khairu Ummah". Artinya, bagaimana kebodohan dan keterbelakangan bertransformasi menjadi sebuah keterbukaan cara pandang dan kecerdasan mencerna fenomena. Dan jika kita cermati jauh ke dasar ruang pikir, maka filosofi demikian adalah filosofi pendidikan.
Pun aliran psikologi humanistik mendeklarasi sebuah "quote" bahwa pendidikan adalah proses memanusiakan manusia. Sebuah frasa yang tentu saja bukan sekadar frasa, melainkan sebuah metakognisi (berpikir tentang cara berpikir). Artinya, betapa pendidikan adalah sebuah dimensi, di mana ruh, jasad dan akal dengan sangat romantisnya berintegrasi mewujud kehakikian diri manusia sebagai makhluk terbaik (ahsanu 'amala).
Bahkan jauh sebelum kita terlahir, secara etnografi, masing-masing kultur di nusantara Indonesia memiliki syair tak bertuan alias "no name" yang substansinya adalah petuah pendidikan. Artinya, bagaimana nenek moyang orang Sunda mengayun-ayun bayinya dalam gendongan dengan sebuah syair khas yang bebunyi "Neng nelengnenggung, geura gede geura jangkung, geura sakola sing jucung". Maknanya kurang lebih adalah bahwa para orang tua kita menghadirkan doa tulus untuk kita agar menjadi insan yang bermartabat melalui sebuah wasilah (jalan) bernama sekolah (pendidikan).
Demikian pula dengan Bapaknya Pendidikan Indonesia (Ki Hajar Dewantara). Keresahan yang terus berkecamuk atas kondisi bangsa yang terjajah oleh Belanda, di mana di zaman tersebut anak-anak Belanda mendapat hak pendidikan yang tukmaninah alias representatif. Lalu keresahana itu menjadi sebuah aksi fenomenal di mana beliau mendirikan Taman Siswa, sebuah lembaga Pendidikan yang dapat diakses oleh anak-anak bangsa kita. Dan dari sanalah denyut Hari Pendidikan Nasional mengembrio dan terlahir.
Selanjutnya, menjadi sebuah indikator bahwa bangsa yang maju adalah bangsa yang literat. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Permanasari (2015) bahwa tingkat literasi masyarakat suatu bangsa memiliki hubungan yang vertikal terhadap kualitas bangsa. Ini artinya, bahwa kedekatan masyarakat sebuah bangsa terhadap ilmu pengetahuan, di mana salah satu jendelanya adalah melalui aktivitas pendidikan, menjadi sebuah kecendekiaan tersendiri.
Dan kecendekiaan itu tak lahir dengan tiba-tiba, melainkan ada sebuah peran keikhlasan dari manusia bernama guru. Hal ini ditegaskan pula oleh Sum dan Taran (2020) di mana beliau menurut hasil riset yang disponsori Bank Dunia di 29 negara berkembang, menunjukkan bahwa fungsi guru sangat strategis dalam setiap upaya peningkatan mutu pendidikan. Ini  sebuah visualisasi indah yang cukup jelas bahwa guru menjadi pusat perhatian di mana keberadaan peranannya sangat besar dalam setiap usaha peningkatan mutu pendidikan.
Selamat Hari Guru Nasional. Semoga rangkaian pahala indah dari Allah Swt, mengalir senantiasa untuk para guru hebat dan para guru peradaban di muka bumi Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H