Mohon tunggu...
Miarti Yoga
Miarti Yoga Mohon Tunggu... Penulis - Konsultan Pengasuhan

Mengenal Diri, Mengenal Buah Hati

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menyambung Layangan Putus

29 Januari 2022   15:06 Diperbarui: 13 Februari 2022   06:47 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

MENYAMBUNG LAYANGAN PUTUS

Tiada maksud mengungkap rasa tak sepakat terhadap jalan cerita sebuah web series "Layangan Putus". Namun, sekadar ingin menghadirkan sudut pandang lain. Walaupun, untuk tayangan lengkapnya, -jujur- saya tak sanggup menonton. Jadi, sudut pandang ini murni dari keresahan munculnya "reels" yang autotayang di beranda sosial media. Bagaimana cuplikan-cuplikan yang cukup kuat mewakili cerita, menjadi sangat membuat diri gundah untuk berkomentar.

Semoga saja, teman-teman yang baik di orbit facebook ini, tak kemudian menganggap saya "menyepelekan" sosok perempuan terzhalimi seperti disimbolkan oleh Kinan. Maksudnya, siapa sih yang tak sakit bahkan mungkin sesakit-sakitnya saat harus hadapi kenyataan di mana kita dikhianati? Namun sekali lagi, izinkan untuk sekadar berpersepsi.

Dan sekadar menduga dengan logika yang wajar adanya, saya berpikir bahwa alur, dialog, setting dan dramatisasi yang ada pada web series tersebut tentu tak kan sama persis dengan dengan fakta orisinalnya. Dalam kata lain, sudah ada unsur daya tarik penonton dan sisi hiperbola. Bahkan mungkin penyampaian pesan, bisa jadi tak seutuhnya sama dengan penulisnya.

Namun di luar itu semua, saya semata-mata, hanya ingin meluaskan contoh bahwa masalah dalam keluarga itu begitu banyak rupa. Ada sebuah keluarga yang diuji dengan sakitnya anak dari nomor satu hingga nomor sekian, yang kemudian Allah takdirkan meninggal satu demi satu dalam waktu yang berbeda. Pedih bukan? Masing-masing anak harus lumpuh, sebuah kondisi yang tak terlalu wajar, plus diakhiri dengan meninggal.

Potret berikutnya. Ada seorang perempuan yang begitu ringkih jiwanya saat tahu bawah suaminya dirumahkan, sementara dirinya sendiri baru saja memutuskan resign. Kondisi mereka berdua yang betul-betul belum punya mental membuka usaha mandiri, beban biaya pendidikan anak yang harus dihadapi, dapur yang bagaimana caranya harus ngebul. Tentu tak sederhana, bukan? Belum lagi komentar tetangga yang mengarah pada lebel "pengangguran". Kecamuk di hati pun kian terekayasa. Bahkan merasa "hina". Pun saat belum mampu bangkit, hidup terasa sangat mentok. Kuldesak. Buntu. Gelap.

Potret berikutnya lagi. Seorang istri merasa tak punya otonomi, hanya tersebab uang yang seratus persen dikelola oleh suaminya. Dari perkara pengelolaan, kemudian menjadi bom waktu, di mana sang istri merasa tidak dihargai oleh suaminya. Bahkan sekecil nominal harga garam saja, istri harus meminta pada suaminya . Mau ke warung, harus minta terlebih dahulu. Mau berangkat ke suatu tempat, pun demkian, harus menengadahkan tangan meminta ongkos. Risih? Sangat. Kesal? Lebih dari sangat. Merasa tak dianggap sebagai istri? Itu pun tak dipungkiri. Lalu, apakah itu bukan kemelut?

Potret lainnya. Sepasang suami istri yang atas berbagai pertimbangan, memutuskan untuk bersedia terpisah tempat atau bahkan pulau alias LDR. Meski sama-sama berkomitmen untuk mengambil keputusan, meski rezeki lancar dan anak saleh-salehah, namun apakah luput dari galau? Galau saat rindu melanda. Galau saat sang istri di rumah menghadapi masalah, bahkan sebiasa masalah anak jatuh. Mungkin bagi istri yang LDR, hal demikian semakin mendorong diri untuk ingin segera bertemu pasangan. Apakah itu bukan kecamuk? Apakah itu bukan ladang sabar?

Nah, apa yang web series Layangan Putus hadirkan pada pemirsa, menggiring persepsi bahwa masalah dalam rumah tangga itu hanya perselingkuhan. Sedangkan bila saja kita survey dan dengan bijak membuat sebuah perbandingan. Bisa jadi, ada persoalan keluarga yang jauuuuuh lebih kompleks dari perselingkuhan.

Seorang istri harus membesarkan plus memotivasi sekian putra putrinya dalam kondisi sang suami tersandung kasus hingga kemudian dipenjara. Menjadi narapidana. Apakah hal demikian adalah persoalan yang mudah untuk dihadapi? Tidak. Itu sebuah cobaan berat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun