Mohon tunggu...
Miarti Yoga
Miarti Yoga Mohon Tunggu... Penulis - Konsultan Pengasuhan

Mengenal Diri, Mengenal Buah Hati

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ketergantungan Motivasi

5 Juni 2021   17:14 Diperbarui: 5 Juni 2021   17:22 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seseorang berkunjung dan bercerita bahwa dirinya telah menamatkan buku setebal dan se-best seller A untuk menjajal hal ihwal cara menjadi orang tua yang baik dan benar. Tak sampai di sana, buku B yang judulnya semenarik mungkin dan penulisnya setersohor tokoh penting pun, telah ia rampungkan guna memperoleh wawasan seputar menjadi pasangan yang ideal.

Namun apa yang terjadi, persoalan kembali muncul dan tak kunjung steril. Mendidik anak masih menjadi PR besar dan kesabaran sebagai orang tua masih belum teruji. Pun perkara pasangan. Meski bukunya telah dikhatamkan secara berulang, namun pertengkaran tetap tak terhindarkan, bahkan tak luput dari adu mulut plus adu pukul. Dan keluhan pun tak berhenti di sana, melainkan menggurita ke sana ke sini, mencabang pada printilan masalah lain.

Pada konteks berbeda. Ada seseorang yang menyampaikan bahwa dirinya sedang "bete" alias "butuh tausyiah". Dengan setangkup ekspektasi, ia berharap orang yang ada di sekitarnya memberikan sokongan terbaik berupa kalimat penyemengat. Dan kondisi bergayung sambut. Dirinya yang serius meminta, ditegaskan dengan bahasa tubuh yang antusiasmenya tidak main-main, lalu berjodoh dengan aliran nasihat yang keberadaannya semacam suplemen batin. Alhasil, dirinya menjadi lebih segar, lebih siap menghadapi tantangan, dan tentunya lebih positif dalam ucap dan sikap.

Pada konteks cukup membingungkan. Orang yang dengan berbagai alasan dan berbagai faktor, pada akhirnya harus kembali rapuh dan kembali mengeluh. Dibekali motivasi sudah sedemikian rupa, dijejali pengatahuan pun "kurang kumaha" (baca: sudah sedemikian banyak dans sering). Namun tetap saja berujung pada kerapuhan dan keluhan. Mudah merasa lelah, relatif tak bertahan dalam ujian dan cepat menyerah, yang pada akhirnya berdampak pada kondisi "stuck". Dan di saat kondisi "stuck" itulah, cukup sulit untuk berpikir, cukup gagap berinovasi bahkan untuk sekadar menunjukkan antusias.

Konteks ketiga, sebetulnya menjadi bahan tafakur yang dalam. Bahwa kita tak bisa bergantung pada motivasi dari orang lain. Bahkan meski kita sangat takjub dan sangat berkesan dengan motivasi dari orang-orang hebat tertentu, baik melalui tulisan yang tersebar di ruang sosial media maupun melalui kelas yang ikuti lansung secara offline, penggali semangat dan pendobrak malas yang sesusngguhnya adalah diri kita sendiri. Bukan orang lain.

Secara umum dan fitrah adanya, kondisi semangat manusia memang fluktuatif. Artinya, ada saat merasa ringkih, dan ada saat cukup berenergi untuk melakukan itu ini. Dan fluktuatifnya kondisi, rata-rata cukup menjadi seni, alias bukan menjadi sebuah kondisi berkepanjangan apalagi permanen. Artinya, selepas melempemnya semangat, tak perlu butuh waktu lama untuk dapat "move on". Namun ternyata, orang dengan tipikal butuh waktu panjang dan lama untuk bisa move on, itu tak sedikit alias masih tersebar di sekitar kita. Atau jangan-jangan kita bagian dari tipikal itu.

Secara umum pula, kita cukup familier dengan pembagian jenis motivasi, yakni motivasi internal dan motivasi eksternal. Namun sekalipun familier, masih terbuka kemungkinan di mana di antara kita "bisa jadi" masih belum luwes atau bahkan masih gagap mendefinisikan keduanya. "Motivasi internal itu apa sih?". Pun sebaliknya. "Motivasi eksternal itu apa sih?"

Dan kita tak bisa menyalahkan buku hebat yang pernah kita baca namun tak berjejak pada kehidupan. Kita tak bisa menghakimi para motivator andal yang ternyata tak membuat hidup kita berubah. Kita juga tak bisa menyalahkan keadaan di area kanan kiri depan belakang kita, yang menurut penilaian kita kurang kondusif dan kurang mendukung. Karena persoalannya adalah, tentang seberapa besar kekuatan kita dalam membangkitkan diri sendiri. Tentang seberapa mampu kita bertahan dalam ikhtiar. Tentang seberapa banyak kita mencari cara sebagai bukti bahwa kita tak diam.

Maka sangat wajar, mengapa penting bagi kita mengajarkan anak-anak untuk tangguh. Karena tangguh adalah modalitas mereka untuk dapat mengarungi kehidupan dengan segala variablenya. Bukan sebaliknya, di mana mereka dibiarkan pragmatis, dibiarkan jajan sesuka hati, dibiarkan untuk tak mengenal waktu demi puasnya bermain, dibiarkan mendompleng kekuatan orang tua, dan lain-lain.

Bahkan kita yang telah melampaui masa-masa OPSPEK di zamannya, jika kota koneksikan dengan kehidupan kita hari ini, tanpa sadar menjadi bekal ketangguhan saat kita hadapi kesulitan dan ketergesaan.

Dan nampaknya penting bagi kita untuk melek pada keberhasilan orang. Bahwa orang-orang hebat yang ada, rerata mereka telah melampaui lelah letihnya perjalanan. Mereka lalui resiko-resiko yang tak mudah beserta beban-beban yang tak sederhana. Jadi, pada akhirnya kita dihadapkan pada pilihan. Bahagia dengan setiap proses hingga Allah hadirkan rezeki-rezeki yang tak terprediksi, atau tetap dalam keluhan sambil menghakimi keadaan.

Mari move on terbaik.

#miartiyoga

#adversityquotient

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun