Mohon tunggu...
Miarti Yoga
Miarti Yoga Mohon Tunggu... Penulis - Konsultan Pengasuhan

Mengenal Diri, Mengenal Buah Hati

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menjadi Contohlah Selelahnya

18 Januari 2021   10:17 Diperbarui: 18 Januari 2021   10:42 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ayah Bunda yang dirahmati Allah. Barangkali kita sering mendengar atau membaca sebuah petuah terkait tawakal. Artinya, silakan kita berupaya sedemikian rupa, lalu hasilnya serahkan kepada Allah. 

Ini artinya, bahwa kita memang harus memulai terlebih dahulu dengan effort atau dengan kesungguhan. Bukan sebaliknya, kita berpikir pragmatis bahwa seolah-olah cukup hanya berharap nasib baik dari Allah dalam kondisi berdiam diri. Contoh lain misalnya, ada orang yang merasa tak harus mengeluarkan effort lebih untuk sebuah capaian tertentu. Bahkan cukup hanya dengan berharap saja.

Pun dalam konteks kita menghadapi anak. Konsep tawakal ini menjadi pijakan pembelajaran tangguh dan mandiri. Artinya, anak-anak kita butuh latihan menempuh sebuah capaian. Mereka harus paham tentang sebab akibat. 

Mereka perlu mengerti kondisi bahwa menuju sebuah kontek "enak" atau "asyik" atau "gembira" butuh diperjuangkan. Untuk mendapat benda yang mereka ekspektasikan, maka "wayahna" harus ikut andil bergerak, minimal menabung sekemampuan. Pun ketika mereka berharap menjadi juara, maka harus tahu konsekuensinya, seperti banyak belajar dan banyak latihan.

Di dalam pandangan Islam, al-Ghazali berpendapat bahwa anak adalah amanah orang tuanya. Bila kita menghadapi dan memberi input-nya berupa kebaikan, maka kebaikanlah yang akan mengemuka. Pun demikian sebaliknya. 

Selain itu, Al-Ghazali menguatkan bahwa  Dalam hal ini, al-Ghazali melihat bahwa anak dilahirkan dengan membawa  bekal potensi,  yaitu  fitrah. Dan pendidikanlah  yang  kemudian berperan  dalam membentuk dan mewarnai kepribadiannya.

Senada dengan pandangan Al-Ghazali, sebuah  teori  konvergensi  yang  dipelopori  oleh William  Stern  (1871-1938) memandang bahwa pembawaan yang baik tidak akan berarti bila tidak ada proses dan upaya mendidik dan mengembangkannya. 

Artinya, ketika anak kita memiliki sebuah potensi kebaikan, ketika tak ada upaya pembiasaan untuk melatihakan potensi tersebut, maka akan minim dari sisi keberfungsian dan kebermanfaatan. Bahkan sesederhana anak latihan salat, mengaji, membaca, menyapu, dan lain-lain, semua itu disokong oleh upaya pembiasaan. Demikian jika dihubungkan dengan teori Al-Ghazali dan teori Stern.

Selanjutnya, hal tersebut berkorelasi dengan keseharian kita menghadapi mereka (anak-anak). Ketika kita berbicara pembiasaan, maka kita butuh contoh. Artinya, anak tetap butuh kiblat yang bisa mereka cerna. Terlepas apakah sebuah keterampilan (skill tertentu) atau kepribadian (cara bicara, cara mengingatkan, dan lain-lain).

Adapun ketika berbicara contoh, bukan tak ada konteks di mana kita merasa "kelelahan" dalam memberi contoh. Sudah dicontohkan sedemikian rupa, sudah diingatkan berapa kali, sudah diajak ngobrol juga secara berulang, namun anak kita masih belum merespons. 

Ketika kita menghadapi kondisi demikian, maka yang perlu kita miliki adalah kemampuan *berkomunikasi pada diri kita sendiri*. Artinya, kita meyakinkan pada diri bahwa contoh yang sudah dan sedang kita berikan itu masih berupa proses. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun