Mohon tunggu...
Miarti Yoga
Miarti Yoga Mohon Tunggu... Penulis - Konsultan Pengasuhan

Mengenal Diri, Mengenal Buah Hati

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Berlindung di Balik "Masa Lalu"

31 Oktober 2020   10:08 Diperbarui: 31 Oktober 2020   10:21 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kita hari ini, dengan varian pernik masa lalu. Dan sepasang suami istri pun dipersatukan denganlatar belakang yang berbeda. Bahkan ada yang benar-benar kontras, baik dari sisi emosi, sosial budaya, spiritual dan sisi-sisi lainnya.

Pun bagi kita yang sudah punya anak lebih dari satu. Masing-masing anak kita punya catatan perjalanan (sejarah) yang berbeda satu sama lain. Ada yang kita kandung dan kita lahirkan dalam kondisi "happy" dan relatif tanpa beban. 

Ada juga yang dikandung, dilahirkan dan dibesarkan dengan liku-liku jalan juang. Bahkan ada pula yang dihadapi dengan rangkaian luka dan air mata. Karena tak sedikit, seorang ibu dalam kondisi mengandung, tetiba sang suami dikenai godaan tak terelakkan terhadap perempuan lain (saya tidak menyebut pelakor).

Masa lalu, bagi siapa saja makhluk beriman, tentu akan menjadi sebuah hikmah tersendiri. Atau menjadi ibrah (pelajaran berharga). Atau mungkin ladang muhasabah. Namun sebagai manusia dengan segala ketergopohan menuju level saleh salehah, menjadi sangat manusiawi ketika kemudian masih menyimpal "file" pengalaman buruk masa lalu. Saya pikir, ini wajar sebagai seorang hamba (makhluk), yang tak pernah bisa steril dari lintasan.

Namun barangkali di antara kita, tanpa sadar masih menjadikan masa lalu sebagai pembenar atas kekurangan diri kita hari ini. Kita tanpa sadar mengekalkan kekurangan diri untuk enggan menerima amanah tertentu. Kita mengukuhkan alasan pengalaman buruk di masa lalu sebagai alat untuk kita mendapat sebanyak-banyaknya PEMAKLUMAN dari orang-orang sekitar. Kita melanggengkan kelemahan diri hanya untuk menutup kebangkitan diri atau membatasi fleksibilitas. Hal ini yang kemudian menjadi PR panjang tentang bagaimana caranya kita bisa proporsional.

Contoh sederhananya adalah, ketika hari ini kita bukan orang yang lihai berbicara di depan umum, lalu secara berulang mengutarakan bahwa "kegugupan" kita dalam berbicara karena memang efek masa lalu di mana kita kurang diberi ruang untuk bicara atau karena pernah mengalami bullying (perundungan) dari orang-orang sekitar, atau sempat ada penekanan dari orang dewasa terdekat.

Contoh berikutnya, ada di antara kita yang kurang bisa ekspresif terhadap pasangan. Bicara secukupnya, melayani juga secukupnya, lalu sering pula bicara menyakitkan tanpa menakar keadaan. Singkatnya, "lempeng bin jutek bin gak peka". Dan begitu dikonfirmasi, konon sikap demikian adalah sebagai dampak masa kecil yang pernah mendapat perlakuan tak nyaman lalu membekas hingga kini.

Contoh berikutnya lagi, ada di antara kita yang malasnya tak terkira. Kalau dalam istilah orang Sunda, "kebluk" atau "kedul". Orang-orang sekitar pun kemudian menyimpulkan orang dengan tipe seperti ini sebagai orang plegmatis alias bingung harus berbuat apa. 

Di saat yang sama, ketika dirinya diberi sebuah keharusan, diberi tekanan, dipasok rangkaian aturan dan kewajiban, responsnya menolak alias defensif. Bahkan sering berujung pada kondisi demotivasi atau disorientasi atau tak merasa harus berbuat lebih. Lalu ketika digali alasannya, konon karena efek perlakuan orang tuanya.

Mari berpikir "mungkin" untuk bisa berubah, agar segala kekurangan dan ketakberdayaan kita tak menjadi LANGGENG. Dan kelanggengan itu cukup banyak dipasok oleh sugesti dan perasaan negatif kita sendiri. Jadi, ini soal perang. Perang perlawanan terhadap lintasan negatif yang kita buat sendiri.

Mari sejenak bersikap "masa bodoh" terhadap label atau vonis atau perspektif negatif orang lain terhadap kita. Karena yang akan mengubah diri kita bukanlah orang lain, melainkan diri kita sendiri. Motivasi yang jauh lebih mahal itu motivasi internal. Bukan motivsi eksternal. Terlebih ketika label-label yang disampaikan oleh seseorang itu hanya sebatas komentar lias bukan saran yang konstruktif. Bukan pula sebuah pemetaan solusi. Maka cukup sudah kita terima sebagai ladang evaluasi untuk sebuah kebaikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun