Mohon tunggu...
Miarti Yoga
Miarti Yoga Mohon Tunggu... Penulis - Konsultan Pengasuhan

Mengenal Diri, Mengenal Buah Hati

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guru Pembelajar, Guru yang Berbekal Kefasihan Global

2 September 2020   21:59 Diperbarui: 3 September 2020   09:03 275
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Retorika "Merdeka Belajar", hingga hari ini masih banyak yang menganggap sebagai suatu hal yang baru. Padahal keunikan gagasannya telah ada, jauh sebelum istilah tersebut mengemuka. Telah banyak stakeholder yang melahirkan inovasi di bidang pembelajaran, baik dari sisi manajemen, kurikulum, konten, karakteristik, dan sebagainya.

Dan salah satu albumin dari konteks "Merdeka Belajar" adalah membuminya prinsip belajar sepanjang hayat.

Lalu kita bisa menyepakati bahwa  belajar sepanjang hayat adalah prinsip ideal agar kita terus terdongkrak untuk memperbaiki kualitas dan menaikkan kapasitas. Agar kita tetap membuktikan eksistensi, keluhungan dan keberdayaan.

Namun dengan prinsip belajar sepanjang hayat saja, kita sebagai insan pendidikan --khususnya- tak cukup untuk memenuhi kebutuhan peningkatan kualitas hidup. Sehingga kita butuh untuk menjadi insan yang berkarakter adaptive learner.

Sebagai adaptive learner, kita memiliki kemampuan untuk menyelaraskan diri terhadap perubahan, serta menyelaraskan diri untuk berubah. Bukan sebaliknya, di mana kita merasa cukup dengan meminta orang lain untuk berubah.

Termasuk dalam menghadapi kompleksitas keberjalanan belajar mengajar akibat dampak Covid 19. Sebuah masalah yang tak bisa diselesaikan dengan hanya satu pendekatan. Sebuah masalah yang selayaknya mengundang diri untuk menghadiran kreativitas dan menggagas solusi pembelajaran yang efektif, sehingga kita menjadi guru dengan level wisdom (bijaksana). Guru yang memang memuliakan diri dengan ilmu.

Bahkan dengan gairah dan antusiasme menciptakan sebuah terobosan atau kebermanfaatan bagi khalayak, secara psikologis dan secara psikopedadogis, seorang guru relatif mampu meminimalisir dan menghindari sikap-sikap baper (baca: pesimistis), tersebab energi positif yang dituangkan dalam gagasan-gagasan.

Bahkan Mahasempurna Allah telah mengigatkan kita dalam salah satu firman-Nya.

"Wahai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu, berilah kelapangan di dalam majelis-majelis, maka lapangkanlah. Niscaya Allah Swt. akan memberi kelapangan untukmu. Apabila dikatakan, berdirilah kamu, maka berdirilah. Niscaya Allah Swt. akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Allah Swt. Mahateliti apa yang kamu kerjakan." (QS. Al-Mujadalah: 11)

Artinya, Allah tentu akan sangat memperhitungkan setiap kompetensi yang kita ampu dan kita amalkan. Bahkan rezeki pun akan mengikuti dengan lenturnya, terhadap kecakapan yang kita miliki. Karena kompetensi atau kecakapan itu sendiri sudah tentu lahir dari jalan panjang ketekunan. Bukan jalan pragmatis yang dilalui dengan usaha apa adanya. Sangat wajar bila Allah Swt menghargai proses yang kita tempuh.

Namun fakta di lapangan, tak sedikit guru yang justru merasa stuck, bahkan merasa tak harus mengambil peran. Dampak wabah dianggap cukup sebagai urusan negara atau urusan pihak yang berwenang. Konteks seperti ini bisa diistilahkan dengan "paket combo" kepasrahan sekaligus ketakpedualian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun