Mohon tunggu...
Miarti Yoga
Miarti Yoga Mohon Tunggu... Penulis - Konsultan Pengasuhan

Mengenal Diri, Mengenal Buah Hati

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Antara "New Normal" dan Darurat Gagasan Dunia Pendidikan

22 Juni 2020   21:56 Diperbarui: 22 Juni 2020   22:07 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Miarti Yoga

Kurang lebih 3 bulan lamanya, melewati penyesuaian belajar akibat dampak persebaran Covid-19. Meski dimulai dengan kekagetan bahkan kegagapan, meski dengan transisi yang harus dihadapi dengan sikap adaptif, layanan kegiatan disajikan dengan segala observasi terkait apakah pembelajaran telah efektif atau belum, relevan atau tidak, mendapat respons yang baik atau tidak, berdampak buruk atau tidak, dan seterusnya.

Ini bukan perkara sederhana bagi siapapun pengelola lembaga pendidikan. Kecuali memang kalau kita berani "tega" untuk memberikan pelayanan apa adanya. Alias tak perlu menakar perasaan siswa, perasaan guru, perasaan orang tua.

Bukan tak dramatis (atau lebih tepatnya, galau), menghadapi pembelajaran di masa pandemi. Secara pribadi maupun lembaga, saya termasuk resah memikirkan KESEHATAN MENTAL anak-anak. Tentang bagaimana mereka dalam kurun cukup lama tak berjemur matahari. Tentang bagaimana dalam waktu tak sederhana, mereka memendam teriak yang biasa diekspresikan dengan spontan bersama teman. Dan tentang bagaimana keberjalanan pembiasaan mereka, dari mulai tilawah, sholat, hingga khas keseharian lainnya.

Dan bukan tak ada debar. Menunggu keputusan pihak berwenang plus menongkrongi berita tentang kapan kondusifnya keadaan ini dari wabah. Kapan anak-anak bisa dapat kembali menghirup udara sekolah.

Tiba di titik pengumuman. Menunggu kebijakan Mas Menteri Pendidikan. Menyambutnya dengan sukacita, berharap ada gagasan-gagasan yang bisa dikiblati sebagai bahan perancangan formula pembelajaran bila keputusan tahun ajaran baru masih harus kembali dengan format jarak jauh.

Namun apa yang terjadi. Pengumuman yang ditunggu-tunggu itu hanyalah sebuah pengumuman yang sangat mekanistik. Tepatnya, tentang penjadwalan, tentang format pergantian waktu belajar (shift).

Hancurlah ekspektasi yang tinggi dalam ruang hati. Saat slide demi slide yang disusuri itu nyaris tanpa bingkisan ide. Tanpa gagasan.

(Dalam hati). "Tahu akan begini mah, kenapa mesti harus ditunggu-tunggu".

Sedangkan adanya pejabat berwenang itu ibarat IBU. Ibarat kiblat. Ibarat literatur. Ibarat pijakan. Tentang bagaimana kita harus bertindak. Tentang bagaimana kita harus bergerak. Tentang bagaimana kita harus berinovasi. Tentang bagaimana kita harus berkesplorasi.

Maka kembali berotonomi. Meski tetap berharap akan adanya gagasan dari orang berwenang, yang secara hukum adalah orang yang memayungi keberjalanan jihad ini. Jihad pendidikan. Yang secara filosofis adalah pemapah cita-cita anak bangsa. Yang secara psiko-pedagogis adalah pembangkit semangat seluruh insan pendidikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun