Mohon tunggu...
Muhammad Nasrullah
Muhammad Nasrullah Mohon Tunggu... Penulis - tholibul 'ilm ilal abad

Syubbanul yaum Rijaalul ghad

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sampai Dimana Perjalanan Kita?

28 November 2020   23:30 Diperbarui: 14 Januari 2024   05:34 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di hari ini, seiring detak jarum jam yang tidak pernah berhenti untuk berputar, yang terus menambah panjang usia namun semakin mendekatkan kita pada batas kehidupan, seharusnya ada ruang yang cukup untuk bertafakur, merenung sambil menghitung -hitung kesalahan, jika kita menganggap diri kita sebagai orang yang berakal, tentu kita akan bersedih, menangis, atau bahkan menjerit ketakutan. Sebab ternyata, memang kita belum melakukan apa-apa. Belum seberapa yang amal baik yang kita perbuat, belum seberapa manfaat yang dapat kita berikan, dan belum seberapa nilai-nilai kehidupan yang dapat kita kumpulkan.Namun ironisnya, terkadang tidak semua kita menyadari hal ini. Di balik ketidaksadaran itu, kita bahkan merasa sudah melakukan banyak hal. Padahal sudah lama hidup kita mengalami stagnasi dan kemandekan. Ataupun kalau kita sempat menyadarinya, rasanya kita sudah kehabisan energi untuk melakukan yang lebih baik dari sekarang. Kita tertipu dan terpedaya oleh tidak adanya persaingan di antara kita. Karena nyatanya memang, hampir semua kita berada pada kondisi yang sama: mandek. Di sadari atau tidak. Kita merasa telah sampai pada garis lingkaran yang paling luar yang tidak ada lagi garis yang lebih besar di atasnya. Kita hanya mampu berputar di satu titik. Berhenti Stagnan. Monoton. Ternyata, perjalanan kita terhenti sampai di sini.

Merenung untuk perjalanan ini, juga perlu kita lakukan bersama-sama untuk mengukur sejauh mana usaha yang kita lakukan dan kontribusi apa yang telah kita berikan untuk kemajuan masyarakat, bangsa, negara, dan agama kita. Sebab pada kenyataannya, hingga saat ini kehidupan pribadi kita tidak jauh berbeda dengan kehidupan berbangsa, bernegara dan beragama kita. Kehidupan pribadi kita menjadi cermin bagi kehidupan berbangsa kita. Semua pada tingkat yang sama, berhenti pada titik yang satu

Ataupun kalau ada kemajuan, sejujurnya kita merasa malu untuk sedikit berbangga dengan apa yang kita capai. Sebab, ternyata banyaknya sumber daya manusia yang kita miliki dan melimpahnya sumber daya alam yang kita punyai tidak sebanding dengan kemajuan yang kita capai. Jauh dibanding kemajuan dan perkembangan bangsa dan negara lain yang tidak memiliki kemelimpahan potensi.

Memang kita punya rencana-rencana dan target-target besar yang kita buat di wilayah sosial, politik, ekonomi, budaya, olah raga, pemerintahan dan di kehidupan masyarakat luas. Tetapi semua itu hanya tinggal rencana dan target. Kita tidak merasakan perubahan dan kemajuan yang berarti.

Masih banyak contoh kasus yang bisa kita buktikan, kemiskinan yang semakin parah, lapangan kerja yang demikian langka, kemaksiatan yang kian merajalela, dan lain sebagainya.

Jika kita tidak merasakan semua itu sebagai sebuah kemandekan, maka hari ini kita harus merasakannya, saat ini kita mesti menyadarinya, untuk kemudian bergerak, berpikir, beraktifitas, berkreasi dan berinovasi untuk melawannya.

Ada banyak faktor yang sebenarnya telah mematikan akal sehat kita sehingga kita tidak menyadari bahwa kondisi ini adalah sebuah kemandekan yang harus dilawan. Di antaranya, karena kita kehilangan pemaknaan terhadap hidup dan kehidupan. Kemalasan dan sikap masa bodoh telah menjerat kita untuk selalu bertahan pada situasi dan kondisi yang telah ada. Kita kehilangan pengetahuan bahwa hidup ini harus bergerak dan terus bergerak, menggores setiap waktu agar ia menjadi sejarah yang bisa dikenang sepanjang masa.

Faktor lain adalah, bahwa kita tidak pandai menghargai kerja-kerja yang telah kita lakukan, Dalam teori psikologi, kejenuhan atau merasa statis dalam hidup salah satunya disebabkan karena seseorang tidak begitu menghargai apa yang ia lakukan. 

Perasaan jenuh muncul karena seseorang kurang menghargai dinamika amal dan aktivitas yang dilakukannya. Tentu banyak sebab yang melatarbelakangi kondisi ini. Tapi merasa bahwa pekerjaan kita tidak berharga, hanya sebagai rutinitas, akan menjadikan kita sendiri malas untuk bergerak. Sehingga akhirnya lebih memilih untuk tetap pada kondisi yang ada, serta diam dan tidak mau melakukan perbaikan perbaikan diri.

Saat ini, kita sedang berada dalam situasi stagnan, mandek, dan belum ada perubahan kepada keadaan yang lebih baik. Tetapi semua unsur kehidupan yang ada masih bergetar dinamis. Artinya, masih ada waktu bagi kita untuk menjalankan tugas-tugas kita. Tidak masuk akal bila seluruh alam semesta bergerak memenuhi tugas yang dibebankan, tetapi kita justru berdiam diri

Tak ada logika apapun yang bisa menerima sikap diam di tengah dunia yang bergerak. Keengganan bergerak karena alasan apapun hanya akan memunculkan keadaan yang lebih berat daripada kesalahan yang muncul karena risiko yang pasti ada dalam bergerak

Hal penting yang harus kita syukuri, bahwa hingga saat ini Allah masih menyayangi kita. Kita masih diberikan kesempatan untuk menghirup udara, masih bisa bernafas lega di tengah polusi stagnasi yang belum kita tahu kapan akan dapat bisa bergerak maju, dan masih diberikan kesehatan untuk berbuat. Itulah yang masih tersisa untuk kita bisa mengukir sejarah yang lebih terhormat untuk dikenang oleh anak-anak cucu kita, para penerus kita di kemudian hari.

Makna dari sabda Rasulullah, bahwa mes kipun kiamat telah datang namun biji yang masih ada di genggaman tangan kita harus tetap kita tanam, adalah sebuah petunjuk dan motivasi agar kita tidak berhenti berbuat sekecil apapun. Karena semua perubahan itu awalnya tentu bermula dari hal-hal yang kecil.

Imam Syafi'i pernah berkata: "Aku melihat, air yang berhenti itu merusak dirinya. Kalau ia mengalir pasti akan baik. Kalau ia tergenang akan buruk." 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun