Bersyukur dan lega. Dua kata yang mewakili perasaan ketika bayi (anak pertama) didiagnosa dokter mengalami Hemangioma. Bisa dibayangkan perasaan bahagia kami dikaruniai seorang anak tetapi tidak berselang lama harus mengalami ketegangan kembali sebagai orang tua.Â
Flashback Anak Pertama dengan Hemangioma
Satu tahun delapan bulan, kami baru dikaruniai seorang anak. Waktu yang menurut orang tua terlalu lama. Menurut mereka setelah menikah hanya menghitung bulan saja sebaiknya hamil. Namun, semua yang atur hanya Tuhan, bukan? Manusia mana yang berani mendikte Tuhan dengan lancang soal karunia berupa anak?
Memang menjadi orang tua harapan siapa saja. Punya anak lucu dan menggemaskan cita-cita sebuah pernikahan. Namun, perlu diingat bahwa perjalanan pernikahan dan pembentukan pasangan menikah menjadi orang tua tidaklah sama semua.
Ujian rumah tangga banyak datang dari anak, tanpa terkecuali kami, Hemangioma yang berhasil merenggut harapan beberapa saat.Â
Siapa yang mau punya anak dengan kasus penyakit dan berujung ke meja operasi? Siapa yang tega lihat anak usia di bawah satu tahun harus merasakan tindakan medis yang bagi orang dewasa pun tak akan nyaman?
Kehadiran Telkom Indonesia dengan Internet Lancar
Beruntung saya dan suami bukan pasangan yang pasrah apa kata dokter. Kami browsing dengan kekuatan doa dan kemampuan menyelami kata kunci di mesin pencari. Hemangioma menjadi ilmu baru bagi kami dan dengan Internet kami bisa tahu semua seluk-beluk soal Hemangioma bahkan cara mengatasinya karena sudah terlanjur terjadi.Â
Kami mencari second opinion dari teman, saudara bahkan dokter-dokter yang dikenal capable untuk urusan penyakit satu ini. Dan menemukan beberapa cara mengatasinya selain operasi.Â
Dari situs satu ke situs lainnya kami gali bahkan jurnal penelitian yang tersebar di dunia maya pun kami baca yang berkenaan dengan Hemangioma ini.
Syukurlah, selama kami terus ikhtiar upaya pengetahuan dan tentunya tawakkal, hingga Hemangioma pada anak kami menghilang tak berbekas. Alhamdulillah...Â
***Â
