Mohon tunggu...
M Hadi Saputra
M Hadi Saputra Mohon Tunggu... Ilmuwan - Peneliti di Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BP2LHK) Aek Nauli

Alumni Mahasiswa Linkage program Magister ITB dan Hiroshima University Alumni Mahasisiwa Kehutanan UGM Tertarik dengan IPTEK Kehutanan dan Lingkungan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kurikulum Apa Minat?

31 Desember 2021   17:17 Diperbarui: 31 Desember 2021   17:54 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kalau dulu generasi baby boomer hingga gen x ditanya, " Buat apa sih sekolah" Maka jawaban yang paling sering muncul adalah untuk mendapat pekerjaan yang lebih baik. Dapat kerja di kantoran. Naik jabatan dan bisa meningkatkan taraf hidup dengan menjadi pegawai perusahaan atau negeri. Bayangan bahwa kerja adalah berdasar tingkat pendidikan dan nilai-nilai raport yang selalu tinggi selalu menghantui di masa era 80 hingga milenial. 

Kini banyak anak-anak muda yang mungkin tidak sekolah, atau keluar dari sekolah ataupun home schooling mampu bersaing dalam mencari pekerjaan. Tak perlu menjadi ahli IT ataupun bersertifikat keahlian, bahkan jualan dengan media sosial pun bisa dilakoni. Dengan umur yang  relatif muda, mereka telah mampu melihat peluang yang dapat menghasilkan pundi-pundi uang. 

Hal ini menjadi bertolak belakang dengan pola pikir orang tua mereka zaman dulu. Sehingga peran sekolah mulai dipertanyakan. Apakah sekolah berkorelasi positif dengan kerja?. Saat ini ratusan ribu pengangguran berijazah banyak hilir mudik di jalan-jalan. Mereka berusaha menjajakan gelar sekolah nya untuk dapat diterima di perusahaan-perusahaan atau bahkan toko-toko di pinggir jalan. Tak ayal bahkan mereka beralih jauh dari jalur pendidikan yang ditempuh. Profesi yang tidak sejalan dengan pendidikan yang digeluti selama sekolah. 

Dengan demikian makna sekolah perlu dipertajam. Apakah pendidikan  murni adalah hal penting di dunia yang berubah cepat ini? Tak cukupkah gelar keahlian menjadi nilai unggul dalam mengejar karir dan bekerja? Bisakah sekolah ditutup dan para pelajar mencari sendiri ilmu dari Profesor google, pak Wikipedia, buk siri, atau bahkan metaverse? 

Informasi bukan lagi barang ekslusif yang terbatas. Guru pun bukan lagi profesi dengan sertifikat gelar di dalamnya. Ia bisa seorang pengusaha, anak kecil bahkan seorang yang tidak pernah mengenyam dunia pendidikan sekalipun. Ia hanya punya bakat dan pengalaman yang selalu di asah dengan belajar. 

Mari sejenak kita liat dunia akademisi abad pertengahan. Dimana ilmuwan merupakan para filosof dengan akar pemikiran yang sangat dalam. Mengutamakan adab dalam mencari pengetahuan. Warisan yang mereka bawa membawa kita ke zaman Keemasan saat ini. Budaya belajar bukan hanya mencari ilmu tapi makna yang lebih dalam dari itu. Ia adalah makna. Ilmu hanyalah manifestasi dari makna "hidup".

Ilmu adalah penjabaran dari hidup yang dijalani seorang manusia di atas bumi. Maka dengan demikian, pendidikan tak ubahnya alat untuk memahami bagaimana hidup berjalan. Dunia pendidikan dengan penekanan pada variabel "memahami kehidupan" akan lebih bermakna daripada hanya sekedar nilai di rapor atau peringkat kelas. 

Dengan pemahaman ini, prototipe kurikulum yang ada sekarang perlu di revisi pada tingkat pemahaman bahwa pendidikan bukan sekedar untuk menjadi jalan mencari kerja atau mengejar gelar untuk di sombongkan. Ia di perlukan dalam membangun pola pikir, cara hidup dan berinteraksi dalam menghadapi perubahan yang cepat. Pendidikan tetap dibutuhkan dengan tenaga pengajar didalamnya sebagai penerang atau kompas moral yang menunjukkan setiap sisi ilmu pengetahuan baik gelap maupun terang. 

" Tut wuri handayani, ing madya mangun karso, ing ngarsa sung tulodo" (dari belakang memberikan dorongan, di tengah menciptakan prakarsa, di belakang memberi teladan) 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun