Mohon tunggu...
Mangara Tampubolon
Mangara Tampubolon Mohon Tunggu... -

Saya seorang pekerja sosial (nekerja pada sebuah lembaga swadaya masyarakat yg fungsi dan peran utamanya adalah mengembangkan praktika pembelajaran dan pendidikan alternatif utk masyrakat anak, khususnya paara anak yg tidak mengiktui sistem persekolahan (pendidikan formal sekolah).

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pendidikan; Mengembangkan Individu atau Warga Negara?

30 Desember 2011   20:54 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:33 401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Semua negara beradab modern senantiasa menganggap pendidikan itu sebagai faktor penting di dalam menjamin keberlanjutan  sekaligus perkembangan negara. Tetapi pernyataan ini menjadi perdebatan karena di dalam prakteknya negara senantiasa justru menyebakan pendidikan tidak pernah mencapai tujuan yang dinyatakannya. Perdebatan itu, antara lain di seputar aspek tujuan pendidikan dan peran yang dimainkan negara di dalam penyelenggaraan pendidikan. Selain itu muncul pula sorotan terhadap pendidikan di dalam hubungannya dengan kepentingan individu dan atau kepentingan komunitas atau negara itu sendiri.

Dari segi hasil keseluruhan proses pendidikan, yang manakah yang menjadi prioritas, apakah untuk menghasilkan individu yang baik atau warga negara yang baik ? Dengan melihat kenyataan belakangna ini,  maka  patutlah untuk diragukan bahwa negara-negara masih menggumuli pertanyaan tersebut.  Kita dapat melihat, seakan-akan pendidikan itu digulirkan dengan bertumpu kepada keyakinan Hegelian. Keyakinan ini menyatakan, individu yang baik adalah yang mengabdi kepada kebaikan keseluruhan, dan kebaikan keseluruhan adalah sebuah pola yang terbuat dari kebaikan individu-individu. Artinya, tidak ada antitesis antara individu yang baik dengan warga negara yang baik.

Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk mendebat proposisi dari pikiran Hegelian tersebut. Dengan mengamati fakta-fakta di seputar proses pendidikan, satu hal yang  sangat penting -- secara tegas--  telah mengambil tempat untuk berhadapan dengan pikiran Hegelian itu. Fakta itu adalah, bahwa asumsi maupun pendekatan untuk mencapai masing-masing tujuan atau maksud pendidikan itu ternyata berbeda. Pendidikan untuk mengelola mental individu dalam rangka menjadi individu yang baik akan berbeda dengan pendidikan untuk menghasilkan warga negara yang baik. Ada kriteria umum mengenai individu yang baik serta ada pula kriteria yang ideal tentang satu komunitas atau negara  yang baik.  Perbedaan pada postur maupun tampilan hasil proses pendidikan itu secara logis akan membedakan rancangan praksis pendidikannya. Apakah individu yang ‘sudah baik bagi keluarganya’ adalah juga akan baik baik bagi komunitas atau negara ?

Seorang artis yang sungguh-sungguh di dalam mengembangkan dirinya, ---lalu pada suatu ketika mencapai ‘impiannya’ dan menjadi kaya raya karena itu--- dalam pandangan umum dinilai sebagai individu yang baik bahkan sangat baik. Tetapi apakah ia sekaligus menjadi warga negara yang baik ? Belum tentu ! Ada artis yang sukses tetapi oleh masyarakat dinilai hanya menebarkan faktor distortif terhadap warisan nilai sosial budaya atau adat-istiadat. Ada juga artis yang kemudian memperluas perannya menjadi ‘pekerja sosial/kemanusiaan, ada pula yang menjadi missioner agama, terlepas dari apapun motifnya. Kenyataan yang disebut itu hanya hendak menunjukkan 'akan ada perbedaan'  di dalam mengemas pendidikan untuk kebaikan individual maupun kebaikan warga negara. Adakah titik temu keduanya, baik di jalur prosesnya maupun di dalam diri individu yang sekaligus juga adalah warga negara ?

Hasrat Individu Terhadap Pendidikan

Setiap orang memiliki hasrat untuk menjalani pendidikan jauh sebelum orang memasuki kesadaran tentang sistem sosial atau negara. Keadaan sedemikian merupakan kelanjutan dari apa yang sudah dianggap sebagai sifat manusiawi : “keingintahuan”.  Sifat ini seakan memiliki ‘sistem kekuatannya sendiri’ di dalam jiwa manusia itu. Sifat itu senantiasa mendorong orang untuk tidak menutup-nutupi keingintahuannya atau mengungkapkannya melalui cara-cara tertentu.  Kita dapat melihat pengungkapan yang mencolok dari sifat ‘ingin tahu’ itu pada diri anak-anak ‘balita’ yang tak putus-putusnya memunculkan pertanyaan. Penampakan hasrat anak yang seperti itu  sangat sering membuat orang dewasa kewalahan bahkan  tak sedikit yang merasa terganggu ketenangannya.

Hasrat untuk belajar dan menjalani pendidikan merupakan hasrat yang relevan dengan proses pertumbuhan maupun perkembangan kemanusiaan  dari seseorang.  Anak yang secara nyata memperlihatkan hasrat belajar secara umum akan mendapat respon yang baik dari  keluarganya. Respon yang didasarkan pada kepercayaan bahwa proses belajar dan menjalani pendidikan adalah cara untuk membuat satu individu menjadi individu yang baik.  Dan, individu yang baik itu merupakan  kepentingan dan kebutuhan masyarakat.  Karena itu,  hasrat kepada pendidikan pada kemudiannya juga menjadi hasrat umum.

Perkembangan masyarakat, selanjutnya menuntut fasilitas spesifik di dalam melayani hasrat terhadap pendidikan dan pembelajaran itu. Pendidikan juga dituntut untuk hadir di dalam kepelbagaian bidang sesuai dengan hasrat atas jenis kepandaian, keahlian maupun ketrampilan. Untuk sejauh itu, keluarga atau rumah tangga bahkan komunitas kecil tidak lagi berkemampuan untuk memainkan peran pokok.  Di atas realitas ini,  pendidikan terjerat untuk menumpukan diri kepada alas ekonomi baik dari sisi fasilitator pendidikan maupun dari sisi partisipan pendidikan.  Demikianlah pada kemudiannya hasrat atas pendidikan di dalam diri individu mesti bertransaksi dengan faktor eksternalnya.

Kebaikan yang dihasilkan oleh pendidikan pun kemudian menjadi relatif sebagaimana relatifnya kebaikan itu sendiri. Namun secara umum, kebaikan individu karena  menjalani pendidikan merupakan faktor yang senantiasa mendapat tempatnya  di masyarakat.  Itulah sebabnya hasrat individu terhadap pendidikan tidak akan pernah pudar. Hasrat itu malahan semakin diperbesar oleh realitas sosial yang sudah dipengaruhi secara kuat oleh faktor ekonomi. Pembangunan kesejahteraan individu senantiasa ditandai dengan ukuran-ukuran ekonomi. Pendapatan yang tinggi mempunyai hubungan penting dengan tingkat pendidikan  atau kompetensi individu.

Demikianlah hasrat pendidikan menjadi memiliki ‘sebuah ujung’ yang jelas bagi individu yaitu dalam rangka peningkatan taraf  hidup di dalam wajah capaian kesejahteraan ekonomis.   Karena itu, dengan atau tanpa negara seseorang akan senantiasa ber-'hasrat'  untuk menjalani pendidikan atapun pembelajaran.

Tetapi bila hasrat dimaksud hanya dikatakan untuk kebaikan individu maka apakah sesungguhnya yang menjadi kepentingan komunitas atau masyarakat dari kebaikan individu ? Atau adakah titik temu  dari hasrat individu atas pendidikan dengan hasrat masyarakat atas pendidikan ? Apakah individu yang baik bagi dirinya sendiri dan atau keluarganya akan serentak menjadi individu yang baik bagi komunitas sosialnya (masyarakat) ?

Hasrat Negara

Negara selalu hendak memfungsikan setiap individu di dalamnya sebagai warga negara. Proposisi ini dikenakan kepada semua jenis dan bentuk pengelolaan negara apakah itu oleh kekuasaan yang demokratis, feodal, monarkis maupun otoriter. Semua negara menghendaki hadirnya warga-warga negara yang baik menurut ukuran cita-cita negara.  Karena alasan itu, negara pun selalu kukuh untuk memegang otoritas di dunia pendidikan  yang telah  maupun yang akan dibuat di wilayah negara.  Menguasai penetapan tentang sistem-sistemnya, kurikulum dan bahkan metodiknya  sehingga pendidikan pada akhirnya lebih sering terasa sebagai ‘hasrat penyelenggara negara’.  Pernyataan ini tentunya hanya akan terterima dari perspektif politik mengenai eksistensi satu negara di tengah negara-bangsa lainnya.

Dari sisi negara atau masyarakat,  perbedaan sejarah munculnya hasrat (motif) atas pendidikan sudah tentu mengakibatkan perbedaan kepentingan praktis  pendidikan. Aspirasi warga masyarakat dari tataran paling mikro (keluarga)  senantiasa memformulasikan tujuan pendidikan itu pada tataran praktis yang sempit. Umumnya, keluarga dan individu hanya mencanangkan peranan pendidikan dalam rangka ‘kemajuan’ diri pribadi semata-mata.  Karena itu pendidikan harus jauh dari melibatkan pandangan politis bahkan sosiologis.

Tarikan 'arus besar  kehidupan'   masa kini menyebabkan pendidikan tidak lagi dilihat --untuk pertama-tama-- sebagai jalan mengembangkan potensi seorang individu.  Tetapi,  pendidikan adalah jalan untuk memperoleh “kedudukan” dalam rangka  pertumbuhan dan perkembangan aspek ekonomi yang propektif bagi kehidupan seseorang.   Tarikan terhadap masyarakat untuk terus masuk ke dalam pusaran arus “kesadaran” ekonomi pada akhirnya  memunculkan aspirasi yang mengeksploitasi ‘aspek layanan publik’ dari fungsi negara.  Demikianlah sehingga di masa kini,  permintaan masyarakat memunculkan aneka ragam serta aneka sifat, fungsi  maupun bentuk (spesialisasi) dari pendidikan.  Sebatas ini, pada kondisi masyarakat yang tidak kuat secara politik di hadapan penguasa negara yang kuat, pendidikan senantiasa dapat dikompromikan.

Pada era liberalisme dan ekonomi pasar bebas yang mendunia (global) masa kini,  fungsi dan peran negara pun kembali dipertanyakan. Terutama kedalaman maupun keluasan peragaan otoritasnya di dalam penyelenggaraan pendidikan itu.   Apakah semua kebijakan negara di bidang pendidikan adalah mencerminkan hasrat negara tentang pendidikan ?  Dengan melihat kenyataan,  kebijakan pendidikan masa kini umumnya lebih terasa sebagai fasilitasi negara terhadap “kekuatan yang lebih besar daripada negara itu”.  Suatu kekuatan yang telah berhasil menggeser semua aspek pemahaman kita mengenai pendidikan. Kekuatan itu  jugalah yang saat ini telah menjadi penyelenggara  sesungguhnya dari sistem-sistem pendidikan itu.  Apa dan siapakah kekuatan tersebut ?  Kekuatan itu adalah ekonomi dalam sosok ‘pihak-pihak’ yang hendak mengeksploitasi keuntungan dari dunia pendidikan dengan menjadikan pendidikan sebagai industri.  Di dalam situasi dan kondisi sedemikian menemukan dan mempertanyakan hasrat negara atas pendidikan menjadi tidak relevan.

Kekosongan Pendidikan Kewarganegaraan

Hegemoni aspirasi ekonomi ke dalam tujuan pendidikan –sebagaimana telah menjadi gejala umum— membuat kita hanya akan menemukan pola-pola pendidikan untuk “kebaikan individu”.  Pengertian mengenai individu yang baik itu sendiri menjadi sangat relatif dan jauh dari filsafat pendidikan. Namun sifat pengertian sedemikian akan selalu hidup karena muncul dari sikap pragmatis masyarakat (komunitas).  Pendidikan dengan karakter yang didasarkan kepada pengertian seperti inilah pendidikan yang “mendunia” dan “modern”.  Ia melintasi batas negara maupun kebangsaan,  mengiringi sifat dari gerak globalisasi ekonomi  serta paham ‘kebebasan’ (liberalisme)  individu.   Di dalam realitas sedemikian, untuk apa lagi pendidikan kewarga negaraan ?  Masih relevankah “satu kewarganegaraan” bagi seorang individu yang sudah berpaham  mendunia ?

Estafet kepemimpinan suatu negara-bangsa bergantung secara signifikan kepada kualitas pendidikan.  Latar belakang pendidikan berskala internasional dari para penyelenggara negara (politisi dan birokrat)  secara umum terus membesarkan gejala pengikisan ‘patriotisme’.  Kelenturan sikap  (yang ditampakkan)  para pemimpin di dalam merespon perkembangan modernisasi dunia  serta di dalam mengembangkan relasi multilateral pada kenyataannya selalu mencurigakan.  Kelenturan dimaksud,  --berdasarkan fakta--,  lebih disebabkan oleh ‘ketundukan dan kekaguman  fanatik’  masing-masing terhadap negara-bangsa di mana 'dia'  pernah mengikuti pendidikan. Kelenturan sikap itu  bukanlah  karena karakternya  tlah mencirikan  manusia yang  ber-“wawasan terbuka”  (open mind people).   Dari kelompok orang-orang seperti ini tidak mungkin ada rancangan patriotisme.  Bagi mereka sebuah  ‘negara-bangsa’  menjadi bermakna relatif  karena selalu diukur dari keuntungan yang didapat.  Lalu, siapakah yang masih membutuhkan pendidikan kewarganegaraan ?

Pendidikan kewarganegaraan selalu menjadi kebutuhan bagi mereka yang berpikir dan berkesadaran untuk mengabdi kepada sesama manusia. Potensi,  Kecerdasan,  Emosi dan --kemudiannya-- Kekuasaan yang didapat, bagi mereka ini akan selalu dicanangkan untuk diabdikan bagi kebaikan sesama.  Mereka senantiasa membutuhkan ‘organisasi’ satu bangsa yang sederhana. Karena --bagi kaum patriotik--  gagasan 'satu warga dunia' di bawah satu sistem kekuasaan  sesungguhnya hanyalah tawaran para pencuri dan penipu yang tidak menghormati kemanusiaan “orang lain”.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun