Mohon tunggu...
Maria Florentina
Maria Florentina Mohon Tunggu... Penulis lepas

Duc in altum

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mati Sebelum Hampir Mati

28 Maret 2025   17:02 Diperbarui: 28 Maret 2025   17:02 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Dibawa saja, Kak! Tidak apa-apa. Bawalah, Kak!"

Mataku tak lepas memandangi mata coklat Sumitra. Pada usianya yang hampir lima puluh empat dua bulan lagi, kecantikannya masih berjejak jelas. Jelas jauh lebih tua dariku tetapi sampai hari ini dia memanggilku 'kakak'. Dia janda. Pekerjaannya serabutan. Anaknya satu. Perempuan. Baru juga kelas dua sekolah dasar. 

Bukan karena telat menikah dia punya anak dalam usianya yang sebegitu. Lebih karena rencana dan kehendak Sang Pencipta memang kadang di luar nalar manusia pada umumnya. Benih kehidupan dititipkan dalam rahim Sumitra ketika usianya sudah jauh kepala empat. Sementara Mali, suaminya yang kuli bangunan dan kadang kerja serabutan, lebih dulu dipanggil berpulang ke pangkuan bumi saat Upik anak mereka belum genap dua tahun. Jadilah si Upik tidak begitu mengenal bapaknya. 

"Ayo, Kak, dibawa saja! Tidak usah sungkan," kata Sumitra lagi. Dia bisa membaca hatiku. 

Ya. Sungkan. Ada rasa malu juga. Sedih. Gengsi yang terusik. Serta fakta di depan mata yang buat hati ingin menjerit. 

Bungkusan plastik di tangannya yang terulur tidak hanya berisi sekilo beras C4, sebongkah garam batu yang dibalut kertas bekas, satu saset kecap seribuan, dua bungkus mi instan, dan satu bungkus minyak goreng bantal yang ukurannya segenggaman tangan. Segenap emosi dan pemikiranku yang berkecamuk rasa-rasanya turut pindah ke dalam bungkusan itu. 

Ahh, batinku, dulu akulah yang sering memberinya paket sembako. Jumlah dan ragamnya jauh lebih banyak dari yang ada di bungkusan itu. Kenapa hari ini jadi aku yang ada di posisinya dulu? 

"Kak, tolong dibawa, ya! Ayo, katanya mau pulang. Tidak jadi tidur di sini, 'kan? Kalau begitu, pulang sekarang, Kak. Takutnya keburu hujan! Lha, pas itu, ojeknya sudah datang."

Sumitra tahu-tahu sudah memanggil ojek untukku. Aku sendiri masih terpegun memandangi bungkusan plastik yang telah beralih dari tangannya ke tanganku yang sedikit gempal. Ya. Perempuan yang usianya jauh di atasku itu memang kurus, tapi berisi. Kerja fisik yang dilakukannya demi bertahan hidup mestilah membentuk tubuh kecilnya sedemikian kokoh begitu. Lain denganku. Sedikit bergerak, banyak berpikir. Begitu kuistilahkan pekerjaanku selama ini. Aku pula yang menamai diri sendiri penulis. 

Aku memang kadang menulis. Ada kalanya aku menulis cerpen, dongeng, hingga skenario drama radio. Yang terakhir itu bisa dibilang pencapaianku yang paling yahud. Meski namaku tidak terkenal dan belum pernah sekalipun karyaku mendapatkan penghargaan, di kalangan komunitasku yang terbatas aku cukup diakui, dihargai, dan disegani. 

Mungkin itulah yang membuatku gempal. Cih! Alibi ala diri sendiri. Sebuah pembenaran yang penuh dalih atas diriku yang mager alias malas bergerak. Banyak duduk dan tidur. Berdiam dan merenung, melamun. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun