Mohon tunggu...
M Fauzi Nurrohman
M Fauzi Nurrohman Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

Mahasiswa Tahun Akhir di Institut Teknologi Sepuluh Nopember

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Fanatisme Buta, Sebuah Produk dari Kealpaan Penggunaan Media Sosial

20 Mei 2019   16:04 Diperbarui: 20 Mei 2019   16:26 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dewasa ini penggunaan media social sudah seperti hal yang wajib, bagaimana tidak, media social di era modern ini bukan sekedar tentang chatting, namun jauh dari itu developer media social menawarkan fitur sharing, berbagi status, bahkan berbisnis daring.

 Perlu diketahui bahwa internet di Indonesia sudah digunakan oleh 150 juta orang atau lebih, hampir 60 persen dari jumlah penduduk keseluruhan Indonesia, dan dapat dipastikan bahwa pengguna internet juga memiliki paling tidak sebuah akun sosial media yang tersambung didalam perangkat mereka.

Selain itu, perlu diperhatikan bahwa tingkat paritisipasi masyarakat juga cenderung tinggi. Menteri Tjahjo Kumolo mengatakan bahwa tingkat partisipasi masyarakat bahkan mencapai 80 persen, melampaui target yang telah dicanangkan KPU sebagaimana tercantum dalam RPJM Nasional 2014 - 2019 di mana tingkat partisipasi pemilu berada di titik sebesar 77,5 persen.

Hal ini nampaknya juga menarik perhatian para pegiat politik di Indonesia, dengan jumlah pengguna yang mencapai angka 60 persen penduduk Indonesia tentu kampanye melalui media sosial menjadi efektif dengan biaya yang yang jauh lebih irit dibandingkan safari keililng kota layaknya kampanye pada umumnya, cukup dengan mebuat video / infografis tentang visi dan misi masing-masing calon yang kemudian di upload melalui akun masing-masing relawan medsos yang nantinya dapat disaksikan jutaan netizen.

"Medan pertempuran kita adalah media sosial. Konten yang kami buat untuk pemilu dilhiat setidaknya satu juta orang perminggu,"[1]

            Akibatnya obrolan politik bukan lagi barang mewah milik elite parpol, pemerintah, akademisi, dan mahasiswa.Public sphere yang digagas Juergen Habermas, tempat dimana semua orang bisa saling bertukar argumen, dan gagasan politik sudah 'going digital' dimana semua kalangan dapat mengikuti perbincangan, dari kalangan emak-emak bahkan anak-anak. Namun, ruang diskusi digital tak seperti ruang publik sungguhan, ruang publik dunia maya tidak mudah untuk dikontrol. Fiksi dan fakta bercampur tanpa sebuah kejelasan, antara argumen dan sentimen

--"Media sosial telah menjadi medan tempur paling panas antara pendukung kedua kandidat. Kebanyakan pertempuran ini dilakukan oleh para buzzer politik, yang dibayar oleh masing-masing tim kampanye. Memiliki akun palsu sampai ribuan, sementara media sosial terbukti belum berhasil melacak dan mengendalikan para buzzer ini."--

Alih-alih mencerdaskan masyarakat, mengedukasi masyarakat sehingga lebih sadar politik, kampanye digital lewat medsos yang gencar dilakukan pada prakteknya, seringkali tidak memperhatikan keakuratan data, bahkan faktanya pun diragukan, seperti yang sudah dijelakan tadi. . Dan pada akhirnya konten yang disebarkan hanyalah saling menjatuhkan antar kubu, kemudian menggiring masyarakat ke fanatisme politik.

Munculnya fanatisme politik merupakan fenomena yang wajar dalam sebuah kontestasi politik. Hampir dalam setiap ajang kontestasi politik dan dalam kontestasi bidang yang lain, selalu memunculkan fanatisme dari masyarakat. Yang terpenting adalah bagaimana sikap fanatik itu bukan fanatisme buta. Karena fanatisme buta cenderung melahirkan pandangan yang sempit dan tidak mampu melihat secara obyektif terhadap kelebihan lawan. Hal inilah yang menjadikan fanatisme politik buta justru berdampak negatif bagi demokrasi dan dunia perpolitikan di Indonesia.

Fanatisme buta juga meyebabkan perubahan sikap dan pola pikir sosial di masyarakat Indonesia yang pada umumnya terbuka dan menjunjung tinggi musyawarah, menjadi tertutup dan susah untuk menerima kritik dan saran,menganggap bahwa calon yang diusungnya adalah yang paling layak bahkan harus menang, menebarkan ketakutan berlebihan overthingking beranggapan bahwa hal sangat buruk akan terjadi apabila calon yang diusungnya kalah, bahkan menebarkan berita hoax ,seperti yang sudah dijelaskan pada paragraf sebelumnya.

Para pendukung fanatik sangat mendambakan calonnya memang. Mereka sulit menerima kenyataan bahwa dalam kompetisi bisa saja calon yang didukungnya kalah. Kelompok fanatik ini biasanya mengandalkan kata "pokoknya", pokoknya capres dan cawapres pilihannya yang harus menang. Bahkan bisa saja apapun cara yang ditempuh yang penting calonnya menang, seperti dengan menebar berita hoax, yang penting konten yang disebar mengunggulkan paslon yang didukung, dan menjatuhkan paslon yang tidak didukung.[2]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun