Mohon tunggu...
Meutia Santika
Meutia Santika Mohon Tunggu... -

Workaholicgirl.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Gratifikasi untuk Wakil Rakyat

4 Desember 2013   15:59 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:19 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kinerja anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI selalu menjadi sorotan publik, terlebih gaya hidup mereka yang dinilai mewah. Tunjangan dan fasilitas pun diberikan negara dalam menjalankan tugasnya. Nampaknya, apa yang sudah diberikan negara masih dirasakan kurang bagi para wakil rakyat.

Tak heran jika hal ini memicu terjadinya tindak korupsi. Sudah banyak diantara anggota dewan yang akhirnya dipidanakan dan masuk kedalam sel, hampir semuanya bermasalah dengan gratifikasi. Salah satu yang tengah mencuat saat ini adalah uang Tunjangan Hari Raya (THR) untuk DPR. Tentu berbeda dengan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang diberikan Pemerintah, sementara anggota dewan kita harus mencari sendiri.

Seperti yang diungkapkan Mantan Kepala SKK Migas, Rudi Rubiandini dalam kasus yang tengah membelitnya. Dia didesak untuuk memberikan uang THR kepada Komisi VII. Maksud diberikannya uang THR itu untuk menjaga hubungan informal antara SKK migas dengan komisi VII. Sejauh ini memang pembenahan dilakukan SKK Migas, ternyata  hal itu mengganggu kenyaman komisi VII. Pasalnya akan merubah semua fasilitas yang kerap diterima angota DPR  dari SKK Migas. Inilah yang memicu terjadinya korupsi.

Seringkali pemberian gratifikasi ini disinggung dalam setiap kasus korupsi. Biasanya aliran dana yang diperoleh selanjutnya dibagikan ke Partai Politik, Anggota DPR, maupun Capres. Hal serupa tidak hanya terjadi pada kasus SKK Migas, beberapa BUMN lainnya pun demikian.

“Jika melihat dari modusnya ini merupakan pemberian gratifikasi. Bentuknya bisa banyak macam, ada yang memang seperti sesuatu yang seolah diperjuangkan, nah bentuk halusnya adalah THR.” Ucap Peneliti Hukum dan Politik Indonesia Budget Centre (IBC), Roy Salam.

THR ini merupakan bentuk halus dari gratifikasi. Menurut Roy, ini tidak lazim terjadi, dimana pejabat atau anggota DPR yang notabene adalah pembuat, perumus kebijakan sekaligus lembaga pengawas, memperoleh dana illegal. Jelas ini akan mempengaruhi indepedensi, termasuk fungsi Budgeting dan Controlling wakil rakyat kita.

Roy juga melihat beberapa proyek atau anggaran yang diputuskan DPR terindikasi adanya gratifikasi. Sangat disayangkan, kenapa hal seperti ini muncul.  Seperti diatur dalam Undang Undang Anti Rasuah yang menjelaskan bahwa pejabat tidak boleh menerima sesuatu yang dapat mempengaruhi kewenangan dalam merancang sebuah kebijakan.

“Dalam konsep anti rasuah itu tidak dibolehkan baik secara aktif maupun pasif. Pejabat tidak boleh menerima sesuatu dari lembaga yang dia awasi, sebab sudah diberikan tunjangan dan fasilitas dari negara, sehingga tidak  boleh menerima dari luar.” terangnya kepada PRFM

Ada tujuan tertentu dari gratifikasi ini, tentu tidak terjadi atas inisiatif perorangan tapi sejumlah banyak orang. Misalnya dalam kasus SKK migas, tujuannya bagaimana agar secara kelembagaan Komisi VII tidak merubah kebijakan yang sudah diterapkan SKK migas. “Ini tidak hanya terjadi di tingkat nasional, tapi juga daerah.” tambahnya

Sumber dana yang diberdayakan untuk gratifikasi ini, kata Roy bukan hanya bersifat Budgeter tapi juga Nonbudgeter, terutama pada banyak BUMN atau lembaga pemerintah yang mengelola penerimaan negara. Prosentasenya pun cukup besar berkisar antara 5 sampai 20 persen. “Itu dikalangan politisi belum ke service provider nya, panitia pengadaan pemerintah, cukup besar lah potensi aliran dana yang dikorup.” tambahnya

Semua ini pengaruh dari partai politik. Politik Indonesia yang masih berbau rentenir. “Ketika para politisinya mengambil dana APBN/APBD ini tidak bisa lepas dari peran partai juga. Dari beberapa fakta yang terungkap dan melibatkan anggota dewan, mereka melakuka korupsi disebabkan oleh adanya permintaan dari partai untuk menyetor dana operasional partai, ini sudah setali tiga uang. Sehingga sulit kita artikan jika peran partai tidak ada.” ungkapnya

Meski ini kerap terjadi, namun sayangnya tidak secara serius ditangani pemerintah. Coba perhatikan ciri dan sifat lembaga DPR RI. Korupsi akan semkain marak jika lembaga pemerintah kita tertutup, tidak transparan. “Proses pembahasan dan penetapan baik kebijakan anggaran maupun undang undang di parlemen kita masih bermain uang, potensi itu sangat besar, ini soal bom waktu saja.” tandas Roy

Kemampuan tenaga hukum Indonesia untuk membongkar praktek pemberian gratifikasi masih terbilang lemah. Terbukti dengan belum banyak kasus yang berhasil diungkap.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun