Mohon tunggu...
Meti Irmayanti
Meti Irmayanti Mohon Tunggu... Lainnya - senang membaca, baru belajar menulis

Dari kota kecil nan jauh di Sulawesi Tenggara, mencoba membuka wawasan dengan menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mendukung Net-Zero Emissions dengan Sastra Hijau

15 Oktober 2021   07:36 Diperbarui: 15 Oktober 2021   07:48 371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Permasalahan lingkungan di era sekarang ini sudah menjadi isu global. Kesadaran terhadap pentingnya menjaga keseimbangan alam terus dikampanyekan, baik itu di negara-negara maju maupun di negara-negara berkembang. Sudah banyak upaya yang dilakukan untuk mengkampanyekan dan mengatasi persoalan lingkungan yang semakin hari semakin menyadarkan kita akan bahaya yang mengancam jika kita lalai menjaga keseimbangan alam, terutama terhadap tingginya tingkat emisi karbon yang terlepas ke atmosfer yang menyebabkan efek rumah kaca dan semakin menipisnya lapisan ozon.

Salah satu aksi yang populer belakangan ini adalah net-zero emissions atau nol-bersih emisi. Meskipun sudah muncul sejak 2008, namun gerakan net-zero emissions mulai mendapatkan perhatian serius saat Konferensi Tingkat Tinggi Iklim di Paris pada 2015 mewajibkan negara-negara industri dan negara-negara maju untuk mencapai net-zero emissions pada 2050. Dan pada Climate Leader's Summit yang digagas oleh Presiden Amerika Serikat, Joe Biden pada akhir April 2021 kian membuat gagasan menuju net zero emissions ini semakin populer saja. Sejumlah negara menyampaikan komitmen mereka mencapai nol-bersih emisi pada 2050. Indonesia sendiri berkomitmen untuk mencapai nol-bersih emisi di tahun 2060.

Yang perlu dipahami adalah, apakah bisa manusia berhenti memproduksi emisi.? Sementara pertambahan penduduk dunia yang semakin meningkat, dimana tentu saja semakin membutuhkan lahan untuk hidup dan berinteraksi, yang tentu saja akan cenderung mengorbankan lahan hijau sebagai penangkap karbon alamiah, dan ini terjadi khususnya di negara-negara berkembang. Selain itu kebutuhan energi pasti juga meningkat seiring pertambahan jumlah penduduk dunia, penyediaan energi yang tidak ramah lingkungan (energi yang berasal dari karbon) akan memberikan dampak serius bagi peningkatan emisi setara karbon, seperti pembangkit listrik bertenaga batu bara, bahan bakar kendaraan yang menggunakan bensin dan solar, bahan bakar pesawat yang sampai sekarang belum ada teknologi yang bisa mengkonversi ke teknologi bahan bakar non karbon.

Isu, gagasan dan target nol-bersih emisi adalah problema sekaligus tanggungjawab kolektif warga dunia, ia hanya mungkin dicapai jika ada kesadaran bersama, ada komitmen bersama, ada kerja-kerja kolektif dan tentu saja ada pembiayaan bersama. Apa yang bisa kita lakukan untuk menuju net-zero emissions, tentu saja pertama melalui pendekatan teknologi, yang kedua pendekatan secara alamiah, atau yang ketiga melalui perpaduan antara teknologi dan alamiah dan langkah ini yang paling realistis untuk dilakukan.

Teknologi penangkap emisi menjadi salah satu opsi net-zero emissions. Namun, berdasarkan hitung-hitungan menciptakan alat seperti ini biaya tidak murah meskipun diproduksi secara masal dan ini tentu merupakan beban bagi negara-negara dunia ketiga, opsi sederhana bagi negara-negara dunia ketiga adalah cara menangkap karbon memakai jalan alamiah, yakni mencegah deforestasi, menanam lebih banyak pohon, mencegah degradasi lahan, dan tak merusak ekosistem laut serta perairan, meski demikian ini juga costnya masih tinggi dan tantangannya cukup banyak.

Lantas apa yang bisa dan perlu kita lakukan untuk ikut serta memberi andil dalam pencapaian net-zero emissions Indonesia di tahun 2060.? Mungkin sudah banyak di antara kita yang tidak bisa melihat momen itu, tapi setidaknya kita masih bisa berusaha menyiapkan generasi-generasi penerus kita untuk bisa merasakan dan menikmati hidup yang bebas polusi, bebas emisi karbon dan bebas dari segala macam pencemaran terhadap lingkungan.

Secara umum sekarang ini banyak cara yang dilakukan orang-orang yang peduli. Ada yang melakukan aksi langsung bersentuhan dengan objek kerusakan alam, dan ada pula yang bergerak secara tidak langsung yang saat ini trend dilakukan dengan menggunakan produk-produk ramah lingkungan, membatasi penggunaan energi, serta beralih ke penggunaan energi yang terbarukan.

Dunia pendidikan pun tidak lupa untuk berperan serta menyelamatkan bumi yang dimulai dari sekolah dan kampus. Program-program kerjasama dengan Kementerian Lingkungan Hidup menjadi gerakan menarik untuk menumbuhkan tunas-tunas peduli lingkungan. Program tersebut kita kenal dengan Adiwiyata dan green campus. Program yang cukup efektif mengenalkan kepedulian lingkungan melalui proses belajar dan pembiasaan sejak dini.

Salah satu langkah yang bisa kita tempuh dalam mengkampanyekan net-zero emissions atau nol-bersih emisi ini adalah melalui gerakan sastra hijau sebagai gerakan dengan memanfaatkan kekuatan sastra untuk penyadaran diri dan berbuat sesuatu atas suatu kondisi yang mengharuskan kita untuk berbuat. Hal ini didasari bahwa sastra telah terbukti oleh jaman, memiliki daya gugah untuk membangun kesadaran, menumbuhkan daya kritis, bahkan sangat mungkin menggugah seseorang untuk bergerak dan mengambil tindakan. Gerakan budaya bisa dituangkan dalam karya-karya sastra seperti: puisi, prosa, esai, cerpen atau novel atau bahkan pementasan drama teaterikal yang membicarakan kegelisahan atas kondisi bumi ataupun ajakan untuk berbuat terhadap lingkungan.

Ada begitu banyak penulis dari berbagai belahan dunia yang mengangkat isu-isu lingkungan dalam karya sastra mereka. Bisa kita kutip inspirasi dari salah satu penyair romantis William Wordsworth yang menulis dengan indah dalam puisinya, "Alam tidak pernah mengkhianati hati yang mencintainya". Atau bagaimana seorang Rabindranat Tagore yang dalam banyak surat, puisi, dan esai menulis tentang keprihatinannya terhadap kerusakan alam yang disebabkan oleh manusia, yang menurutnya menghancurkan alam hanya membawa manusia ke kehancuran akhir mereka. Tagore menulis soneta pada tahun 1896 di mana ia menulis "Berikan saya kembali hutan belantara, dan ambil kota". Dorongannya untuk menyelamatkan dunia hijau yang semakin habis dikonversi menjadi tempat hunian mulai dari kecil hingga menjadi kota.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun