Tangan mungil itu terlihat lemah, memunguti butiran-butiran nasi yang masih tersisa, ditaruhnya di ujung lidah lalu dikulum dan ditelan dengan mata yang berkedap-kedip, mengais nikmat yang masih tersisa.
Dipungutinya satu demi satu hingga tak bersisa, lalu dijilatinya jari-jemarinya  yang masih gurih, bercampur asin keringat yang jatuh dari dahinya.
Sebungkus teh dingin yang tinggal separuh, menjadi penutup santap siangnya, diteguknya perlahan hingga tak satu tetespun lagi yang bersisa.
Di kejauhan seorang ibu dengan bayi yang terlelap digendongannya, berjalan gontai mengetuk setiap jendela mobil yang berhenti di simpang lampu merah.
Bocah kecil itu menyunggingkan senyum yang murni, mengelus perutnya yang tak lagi hanya berisi angin, terik siang tak lagi mengusiknya.
Dengan riang ia berlari kecil menuju lampu merah tempat ia, ibu dan adiknya menangkup belas kasih yang sering bercampur gerutu dan bahkan serapah.
Bocah kecil itu tak mengerti risau, sepincuk gado-gado dan sebungkus teh dingin, sudah cukup baginya untuk menyapa dunia dengan riang, ia belum tertipu dengan segala kepalsuan.