Mohon tunggu...
Meti Irmayanti
Meti Irmayanti Mohon Tunggu... Lainnya - senang membaca, baru belajar menulis

Dari kota kecil nan jauh di Sulawesi Tenggara, mencoba membuka wawasan dengan menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Istri Kepala Daerah, Maju sebagai Calon Kepala Daerah, Pragmatis atau Kebutuhan?

21 Agustus 2020   10:01 Diperbarui: 21 Agustus 2020   10:06 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Tahapan pilkada serentak 2020 yang akan berlangsung pada 9 Desember nanti mulai bergulir, nama-nama bakal calon kepala daerah yang telah memperoleh rekomendasi partai sudah bisa diketahui. 

Dari banyak bakal calon yang akan maju pada kontestasi pemilihan kepala daerah ini juga terdapat banyak nama-nama Srikandi, yang mana sebagai seorang perempuan ini sangat menggembirakan menurut saya. 

Bahwa peran serta perempuan dalam politik sudah mendapat tempat di perpolitikan kita, persaingan yang terjadipun bukan lagi pada rivalitas gender antara laki-laki dengan perempuan, namun rivalitas yang berkualitas terkait dengan kebijakan-kebijakan dan kemampuan individu.

Namun sayangnya, ada satu hal yang sepertinya mengganjal di pikiran saya, yakni dari sekian nama srikandi yang bakal maju sebagai calon kepala daerah, terdapat beberapa nama yang terkait dengan politik dinasti, yakni nama-nama istri dari kepala daerah yang sedang memimpin. Para istri kepala daerah ini maju pada Pilkada serentak 2020, ada yang maju sebagai Walikota, Bupati, dan Wakil Bupati.

Sebut saja contohnya Calon Walikota Binjai Lisa Andriani Lubis yang merupakan istri dari Walikota Binjai Muhammad Idaham yang dua periode terakhir menjabat sebagai Walikota Binjai sejak 2010. 

Lalu ada nama Eva Dwiana yang maju jadi calon wali kota Bandar Lampung. Ia adalah istri Herman Hasanusi, yang sudah dua periode menjabat Wali Kota Bandar Lampung.

Selanjutnya ada pula nama-nama istri Bupati yang maju untuk meneruskan jabatan suaminya, Ipuk Fiestiandani, istri Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas yang sudah menjabat sejak 2010,  Yunita Asmara sebagai calon Bupati Batanghari, Jambi. Yunita adalah istri dari Bupati Batanghari yang masih menjabat, Syahirsah. 

Lalu ada juga Rezita Meylani, Istri Bupati Indragiri Hulu, Yopi Arianto. Untuk yang maju sebagai Wakil Bupati ada nama Herny  yang adalah istri dari Agus Ambo Djiwa, Bupati Pasang Kayu yang menjabat dua periode sejak 2010, Herny maju berpasangan juga dengan kerabatnya Yaumil Ambo Djiwa.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan pencalonan para istri ini untuk melanjutkan kepemimpinan suami-suami mereka, tidak pula kurang etis, karena undang-undang tidak membatasi hal tersebut, apalagi telah ada contoh-contoh kesuksesan para istri mantan kepala daerah ini, yang berhasil menang dan memipin daerahnya dengan baik. 

Sebut saja contoh kepemimpinan suami yang berhasil diteruskan oleh sang istri yakni Bupati Kediri, Haryanti yang terpilih mengantikan suaminya Sutrisno yang menjadi bupati Kediri selama dua periode berturut-turut yakni dari tahun 1999 hingga 2009. 

Ada yang unik dibalik cerita perjalanan politik keluarga Sutrisno ini. Pada Pilkada 2010 Haryanti sebagi istri pertama Sutrisno maju sebagai Calon Bupati bersaing dengan dengan madunya, istri kedu Sutrisno, Nurlaila. 

Kemudian pada perhelatan Pilkada berikutnya di tahun 2015, Haryanti sebagai petahana tampil melawan istri ketiga Sutrisno, Sayekti. Haryanti kembali berhasil menduduki kursi Bupati Kediri untuk periode kedua 2016-2021.

Selanjutnya ada Anne Ratna Mustika istri  Dedy Mulyadi yang maju dalam pilkada kabupaten Purwakarta tahun 2018 lalu, dan terpilih menjadi bupati Purwakarta periode 2018 hingga 2023, menggantikan suaminya Dedi Mulyadi yang menjadi bupati Purwakarta pada periode, 2003-2008, dan 2013-2018. 

Demikian pula ada nama-nama pasangan suami istri yang sukses menggantikan suami mereka sebagai kepala daerah seperti di Kabupaten Klaten, Haryanto Wibowo dan Sri Hartini, lalu di Kota Bontang, Andi Sofyan Hasdam dan Neni Moerniaeni, di Kabupaten Indramayu, Irianto MS Syafiuddin dan Anna Sophanah serta di Kabupaten Bantul, Idham Samawi dan Sri Surya Widati.

Semenjak berlakunya sistem pemilihan langsung, pemilihan kepala daerah memang berlangsung dinamis, selama tidak melanggar aturan perundang-undangan partai pengusung berhak mencalonkan siapa saja figur yang secara electoral dipandang mampu memenangkan kontestasi. 

Tokoh-tokoh atau publik figur yang memiliki "nilai jual"untuk memenangkan perebutan kursi biasanya di "by pass" untuk dicalonkan demi memenangkan kontestasi tanpa melihat latar belakang pengalaman politik dan juga kontribusi politiknya baik bagi partai maupun bagi masyarakat. 

Tak terkecuali keluarga petahana yang biar bagaimanapun punya "modal" baik itu modal  kapital maupun modal sosialnya yang menguntungkan, secara sederhana bisa dikatakan bahwa kekerabatan (suami-istri) dari petahana, daya tarik utamanya adalah pragmatisme untuk menang dengan memanfaatkan popularitas, serta "mesin" politik dan bisa jadi juga mesin "birokrasi, yang sudah umum kita ketahui sering terlibat dalam pertarungan politik Pilkada.

Lebih jauh dari itu, pragmatisme memenangkan pemilihan seringkali berkelindan dengan kecenderungan menciptakan dan melanggengkan politik dinasti. Hal ini menunjukkan kaderisasi dan rekrutmen partai tidak berjalan dengan baik. 

Pragmatisme kadang mengabaikan potensi dan pengorbanan kader  yang  sudah mengorbankan waktu, tenaga bahkan biaya untuk membesarkan partai meski telah memiliki kemampuan politik dan kepemimpinan yang baik secara kepartaian. 

Kaderisasi kadang di by pass oleh kepentingan pragmatis. Rujukan rekruitmen dan penentuan calon parameternya menjadi bias yang seharusnya menyangkut kompetensi politik calon, menjadi popularitas dan electoral calon bahkan bisa juga modal kapital, namun sekali lagi ini semua sah-sah saja tidak ada yang membatasi, apalagi menurut kata-kata orang yang mendukung hal ini, bahwa toh hasil akhir dari pemilihan ini adalah ditentukan oleh rakyat yang memilih, dan sebagaimana prinsip pemilihan bahwa yang terbaiklah yang akan memenangkan kontestasi. 

Tapi apakah kita yakin bahwa pemilihan itu akan menghasilkan yang terbaik dari yang terbaik ? atau mungkin hanya menghasilkan yang terbaik dari yang ada, bahkan mungkin yang terbaik dari yang terburuk. Kualitas hasil akhir yang merupakan output dari pemilihan itu ditentukan oleh kualitas input yang akan diproses (dipilih), jadi proses pemilihan oleh rakyat itu hanya upaya legalitas bukan penentu baik tidaknya hasil akhir (pemenang pemilihan).

Akhirul kalam selamat berjuang para Srikandi-Srikandi yang akan bertarung pada Kontestasi Pilkada serentak 2020 ini, terkhusus Srikandi-Srikandi yang terkait dengan "politik dinasti" berikanlah yang terbaik bagi negeri ini, mari tepis keraguan saya dan mungkin juga keraguan dari orang-orang lain terhadap pandangan "politik dinasti". Perempuan itu hebat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun