Mohon tunggu...
Meta Sekar Puji Astuti
Meta Sekar Puji Astuti Mohon Tunggu... -

Pengarang buku "Apakah Mereka Mata-Mata?" yaitu buku mengenai kisah orang-orang Jepang di Indonesia sebelum perang (sebelum 1942). Penulis di beberapa kolom koran dan website.\r\n\r\nPengamat sejarah dan budaya. Khususnya wilayah Jepang dan Asia Tenggara. Mencoba untuk belajar apa saja. Saat ini sedang bermukim di Tokyo, Jepang, untuk melanjutkan studi serta mendampingi suami yang sedang ditugaskan di KBRI Tokyo, Jepang.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Apakah Film The Raid Memancing Kekerasan (atau Tawuran?)

29 September 2012   09:17 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:30 434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Sebuah film (yang diakui sebagai film Indonesia, ya bangsa Indonesia) dipasarkan di dunia internasional. Film itu berjudul The Raid. Sebuah film laga yang begitu mengejutkan, bagi saya. Film ini memang termasuk indah dari teknik pembuatan filmnya. Tidak lupa peran Ray Sahetapy yang begitu kuat. Gerakan pencak silat yang begitu memukau dari Iko Uwais dan Yayan Ruhian. Tapi satu pertanyaan yang tidak pernah terjawab dari pertanyaan saya adalah, tingkat kekerasan film ini. Buat saya, film ini terlalu keras dan terlalu sadis. Kok rasa-rasanya, kurang pantas dipertontonkan kepada khalayak (menurut saya pribadi). Jika Anda pernah menontonnya, maka Anda tahu apa yang saya maksudkan. Adegan-adegan dalam film ini penuh dengan adegan kekerasan, pembunuhan, pemukulan dan darah berceceran nampak secara jelas dan hampir dalam tiap menit.

Meski sebagian warga Indonesia bangga dengan film ini (kalau bertanya kepada saya, terus terang saya akan jawab tidak begitu bangga dan akan saya sarankan pihak sensor untuk melarang film ini) karena film ini mampu menembus pasaran internasional. Contoh paling nyata, kedatangan pemain utama film ini disambut cukup baik dan meriah oleh sebagian masyarakat Indonesia dan Jepang baru-baru ini. Bahkan, sejujurnya saya pun ikut hadir dalam screening terbatas di Kadokawa Cinema beberapa bulan yang lalu. Tapi setelah pulang dari menonton film itu saya agak gelisah galau dan bertanya-tanya dalam hati saya, “Apakah film semacam ini tidak menarik “aura kekerasaan” dalam penontonnya?” “Apakah film ini cukup membanggakan?””Apakah film ini memang refleksi dari bangsa Indonesia yang penuh ‘memendam’ kekerasan?”

Beberapa jawaban tersebut kemudian muncul dalam beberapa minggu terakhir ini (meski secara nyata sudah berlangsung lebih bertahun-tahun). Tawuran antar pelajar di Jakarta menimbulkan korban yang meninggal, karena dibunuh. Tidak hanya satu orang, tapi dua orang. Bahkan Bapak Muh. Nuh selaku menteri Pendidikan dan Kebudayaan pun turun langsung dan perhatian dengan kasus ini. Beliau telah melakukan tatap muka dengan pelaku tawuran yang mengakibatkan kematian lawannya, “Apakah Anda puas telah membunuh?” “Jawabannya adalah, “Ya saya puas,” jawaban yang begitu mencengangkan. Apa yang terjadi dengan bangsa ini? Seorang anak muda telah merasa puas membunuh seseorang yang seumuran, dan ia mengatakan puas. Begitu miris dan menyedihkan melihat kenyataan ini.

Apakah ini akibat ia menonton film The Raid, ketika sang jagoan dengan mudahnya membunuh musuhnya? Gaya dan aksinya yang menawan dan terekam dalam bawah sadarnya bahwa berkelahi dan membunuh begitu “seksi” dan menawan? Wallahualam. Kita tidak pernah tahu. Kenyataannya kita tidak bisa menyalahkan The Raid semata. Kekerasaan telah merasuk dalam dunia nyata di Indonesia. Menyusup secara halus (dan mungkin terekam dalam benak alam bawah sadar kaum muda Indonesia). Kita lihat saja, para politisi bertengkar saling sikut, saling menjatuhkan dan memaksa penonton untuk saling mencaci maki dan marah. Penonton ikut tersulut panas. Media massa memberitakan banyak permusuhan. Sinetron menampilkan tampilan yang tidak wajar, perkelahian tanpa dasar dan perkataan kasar saling mencemooh. “Aura kekerasaan” disebarkan oleh siapa saja tanpa ada kontrol yang baik.

Sebuah organisasi yang mengaku sebagai organisasi beragama juga melakukan gerakan-gerakan kasar dengan menghancurkan yang dirasa tidak pantas dengan kasar. Forum Pembela Islam atau FPI ini mencoba menawarkan solusi “ketidakberesan” permasalahan social di Indonesia juga dengan kekerasan. Gedung dihancurkan, meja digebrak dan mengancam demo-demo yang tidak jelas. Masih segar dalam ingatan kita Lady Gaga menjadi salah satu obyek ketidak puasan mereka dengan tindakan ancaman mereka. Maria Ozawa alias Miyabi juga diancam kedatangannya. Mereka melambangkan “nafsu birahi” dan perlu dihancurkan. Mungkin dalam beberapa poin pemikiran FPI benar adanya, karena kedua orang ini memang berbuat hal-hal yang tidak pantas. Tapi dengan cara kekerasan? Sekali lagi, kekerasan menjadi kata kunci di tulisan saya.

Tapi FPI pada kenyataannya membiarkan berita “kekerasan” yang disebarkan secara halus? Mengapa FPI tidak berusaha menghentikan berita-berita tidak bermutu, mengapa FPI tidak berusaha menghentikan “kekerasaan” yang terasa “halus” dan juga melakukan aksinya tanpa kekerasan. Hehehe…ini kalimat yang membingungkan ya? Terlalu banyak kata kekerasan. Yah, saya akan menunjuk pada satu poin. “Mengapa FPI tidak memprotes The Raid?” Padakenyataannya, tidak pernah ada berita kontroversial pemrotesan The Raid.

Buat saya, The Raid seakan-akan sebuah visualisasi “kekerasaan” yang seakan-akan nyata. Ketika alam bawah sadar yang sudah penuh dengan kekerasan kemudian diberikan sebuah “visualisasi” bagaimana caranya berbuat kekerasan, tentu akan memudahkan para penonton (yang sebenarnya korban) terutama generasi muda yang belum bisa membedakan imajinasi dan kenyataan. Saya tidak berkata bahwa The Raid adalah pemicu kematian korban tawuran, tapi film The Raid adalah sebuah nyata.

Telah banyak penelitian membuktikan bahwa film, acara televisi memicu pembunuhan bahkan bunuh diri. Bahkan beberapa anak yang menirukan gaya superman harus meregang nyawanya. Seandainya kita, masyarakat Indonesia, cukup cerdas untuk bersama-sama tahu bahaya kekerasaan “halus” yang disebarkan dalam berbagai media serta cara untuk menanggulanginya kita mungkin akan mendapatkan generasi penerus yang lebih baik di masa mendatang.

Tidak mudah mengelola bangsa Indonesia, memang. Banyak yang mengatakan bangsa ini terlalu kompleks. Diperlukan sensitivitas eksta untuk “mengendus” kekerasan yang halus. Diperlukan keberanian untuk “menghalau” kekerasan. Ayo, mari sama-sama kita berani….

Tokyo, 29 Oktober 2012

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun