Mohon tunggu...
Mesa Indra Naiborhu
Mesa Indra Naiborhu Mohon Tunggu... Konsultan - Konsultan Hukum, Management, dan Keuangan

Meminati bidang hukum, management, dan keuangan yang dapat dipergunakan untuk berbagi pengalaman.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Korupsi dan Disintegrasi Bangsa

16 Mei 2021   07:00 Diperbarui: 16 Mei 2021   07:03 1117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumentasi pribadi

Indonesia telah melalui empat periode konstitusi dengan pergantian presiden sebanyak tujuh kali hingga saat artikel ini ditulis.  Pergantian para presiden baru terjadi sejak berlakunya konstitusi terakhir yakni pada saat Indonesia kembali ke UUD 1945.  Periode pemerintahan masing-masing presiden memiliki cerita tersendiri, dengan keragaman kejadian, baik yang menyangkut kejadian yang berhubungan dengan luar negeri maupun kejadian yang ada di dalam negeri.  Ada satu kejadian yang selalu sama di setiap periode kepemimpinan masing-masing presiden tersebut, yakni kejadian "korupsi".

Pada suatu masa sempat dikenal istilah korupsi berjamaah, lalu di masa berikutnya berubah menjadi tersangka korupsi yang ditangkap ibarat lagi berarisan karena tiba-tiba si "A" ditangkap lalu tidak berapa lama si "S" ditangkap dan seterusnya, karena sedemikian banyaknya pelaku korupsi seolah-olah tinggal tunggu waktu saja siapa yang akan dijemput oleh KPK atau Kejaksaan atau Kepolisian.  Ada juga dikenal dengan istilah pelaku korupsi adalah mereka-mereka yang berada di ring 1, tetapi pada masa berikutnya terdengar juga cerita bahwa korupsi sudah terjadi di setiap lapisan pejabat. Demikianlah seterusnya perubahan pelaku korupsi yang dinamis, terkecuali sifat korupsinya yang statis.

Setelah UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah diundangkan pada tanggal 7 Mei 1999 yang merupakan pengejawantahan dari pasal 18 UUD 1945, maka pemerintahan daerah tingkat I dan II memiliki kekuasaan yang lebih luas untuk menjalankan roda pemerintahan dengan mandat sebagai daerah otonom.  Otonomi daerah tersebut sangatlah luas, hanya dibatasi untuk lima hal yang tidak berhak dilaksanakan oleh pemerintah daerah, yaitu politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, serta agama.

Beranjak dari otonomi daerah tersebut, muncullah banyak celah yang dapat menggoda pejabat memiliki sikap koruptif.  Berdasarkan data yang dihimpun dari ICW jumlah kepala daerah yang terjerat kasus korupsi selama periode 2004 -- 2018 dapat dilihat pada tabel yang disajikan.

Korupsi tidak dapat berjalan sendiri, tindakan korupsi pasti selalu dilakukan oleh lebih dari 1 orang, karena pada hakikatnya pelaku tindak pidana korupsi memiliki kemampuan untuk menyeret pihak-pihak lain turut serta melakukannya.  Dimana korupsi adalah bentuk perilaku menyimpang yang terjadi pada orang-orang yang mempunyai kedudukan/memegang jabatan publik, serta pelakunya dapat dipastikan merupakan pribadi yang mempunyai latar belakang pendidikan yang tinggi dan berasal dari lapisan sosial menengah ke atas.

Jadi, jika level kepala daerah melakukan tindakan korupsi, maka sangat membuka peluang jajaran pejabat di bawahnya juga akan turut serta melakukan tindakan korupsi, baik bersama-sama maupun secara terpisah.

Tindak pidana korupsi yang didefinisikan seperti yang pernah dijelaskan oleh Prof. Eddy Hiraej (Wamenkumham) adalah tindak pidana korupsi yang terbagi ke dalam 7 jenis, yaitu : terkait keuangan negara (perekonomian negara), suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan korupsi terkait gratifikasi.

Ketujuh jenis tindak pidana korupsi tersebut akan terbukti jika Hakim telah menjatuhkan vonis bersalah berdasarkan saksi-saksi dan atau bukti-bukti yang menguatkan dan meyakinan serta teruji.  Yang menjadi pertanyaan adalah, bahwa ancaman hukuman terhadap pelaku telah dituangkan di dalam undang-undang jauh-jauh hari, mulai dari undang-undang yang bersifat umum seperti KUHP maupun undang-undang yang bersifat khusus seperti UU Tipikor, tetapi fenomena korupsi tidak berubah jika tidak dapat dikatakan justru meningkat.

Mengapa fenomena tindak pidana korupsi ini tidak pernah berubah ? Berbagai macam penyebab yang dapat dikemukakan, seperti budaya sungkan untuk menolak permintaan dari seseorang, terutama yang merasa lebih dihormati untuk melakukan suatu tindakan yang ternyata berujung penyuapan, sifat berterimakasih yang tidak pada tempatnya sehingga menyebabkan terjadinya gratifikasi yang lama kelamaan mengubah karakter penerimanya menjadi ketagihan menerima pemberian. 

Selain itu sikap feodal juga berperan dimana kepuasaan seseorang untuk selalu dianggap sebagai orang "mampu" dan memamerkan harta kepada orang lain, yang menimbulkan niat selalu ingin memperoleh lebih dari kemampuannya menghasilkan.  Dan banyak penyebab lain yang semuanya bermuara pada psikologis manusia, siapapun dia.

Lingkaran sikap koruptif tersebut memberikan efek domino hampir ke seluruh sendi-sendi kehidupan manusia dan bersifat sistemik, mulai dari hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga negara/pemerintahan, saling curiga-mencurigai, meningkatnya kemiskinan terutama masyarakat yang berada di garis kemiskinan, rendahnya mutu pendidikan, dan lain sebagainya, serta yang terburuk adalah dapat menyebabkan disintegrasi bangsa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun