Malam itu, seorang teman bercerita di sebuah grup percakapan. Ia baru saja turun dari taksi setelah menempuh perjalanan malam. Di dalam mobil, seperti biasa, ia mengobrol dengan sopir.Â
Bukan basa-basi, melainkan obrolan yang sering membawanya pada kenyataan sosial yang tak pernah tersorot. Dan malam itu, kisah yang ia dengar membuatnya terdiam lama.
Sang sopir menuturkan tentang penumpang sebelumnya---seorang perempuan yang baru saja lepas dari razia di sebuah hotel. Wanita itu tidak marah karena dirazia, melainkan karena satpam yang biasa ia beri tip ikut membantu petugas yang menyerbu kamarnya. Ironis.
Lalu sang wanita bercerita. Siang hari, ia adalah seorang guru sukarelawan bagi anak-anak dari keluarga miskin. Tanpa gaji. Tempat mengajarnya berpindah-pindah, kadang di teras rumah warga, kadang di bawah pohon rindang. Tapi malam hari, ia menjadi wanita panggilan.Â
Bukan pilihan yang lahir dari niat, melainkan dari kebutuhan yang mendesak. Ia ingin lepas dari kemiskinan. Bukan untuk bermewah-mewah, tapi agar hidup tak terus terjebak di rantai nasib yang sama.
Kisah itu seperti pukulan telak. Ia menjadi potret wajah negeri ini yang sesungguhnya. Tentang betapa sulitnya keluar dari kemiskinan jika sistem tak memberi jalan.Â
UNICEF mencatat 4,1 hingga 4,3 juta anak Indonesia usia 7--18 tahun tidak bersekolah. 1 dari 4 penduduk hanya tamat SD. 1 dari 5 tamat SMP. Sementara kemiskinan terus diwariskan, bukan karena malas, tapi karena sistem yang gagal membebaskan.
Tapi di sisi lain, negeri ini mencatat prestasi konsumsi yang menggiurkan. Indonesia adalah pasar mobil mewah terbesar di ASEAN untuk merek seperti Ferrari dan Porsche. Kita pemilik jet pribadi terbanyak kedua di Asia Tenggara. Tahun 2025, diperkirakan dua juta warga Indonesia akan berobat ke luar negeri dengan devisa keluar mencapai Rp162 triliun.Â
Ini bukan cerita fiksi, tapi realita sebuah negeri yang hanya memberi ruang kenyamanan bagi 1% warganya yang menikmati financial freedom.
Gini ratio kita pada 2024 berada di angka 0,388, menandakan ketimpangan yang lebar. Lebih dari 45% kekayaan nasional dikuasai oleh segelintir orang terkaya. Di saat sebagian orang menabung demi makan besok, yang lain berjudi di kasino kelas dunia, atau menghamburkan uang di mal-mal megah.Â
Tak heran bila ketimpangan ini terasa begitu menyolok dan telanjang di hadapan publik.
Perempuan itu, si guru malam hari, tidak marah. Tidak mengeluh. Ia hanya berjuang sebisanya. Namun ia berhadapan dengan masyarakat yang cepat menghakimi. Aparat merazianya lalu menerima uang darinya. Satpam memanfaatkannya. Masyarakat menyebutnya pendosa. Ormas keagamaan mungkin mengutuknya.
Namun, apakah moral hanya berlaku pada yang lemah?Â