Di sudut kota yang semakin padat, di antara deretan rumah kecil yang berjajar rapi, seorang ibu muda bernama Lina berdiri di depan pintu rumahnya yang baru.Â
Ia mengamati setiap sudut ruang, mencoba membayangkan bagaimana ia dan keluarganya akan menjalani hidup di dalam hunian 18 meter persegi---kecil, tetapi cukup untuk bernaung dari panas dan hujan.Â
Sejenak, ia teringat akan mimpi memiliki rumah yang nyaman, layak huni, dan tetap terjangkau. Namun, apakah harapan itu sejalan dengan realitas rumah subsidi saat ini?
Mengapa Ukuran Rumah Subsidi Diperkecil?
Pemerintah melalui Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) mengusulkan perubahan pada program rumah subsidi dengan memperkecil ukuran hunian menjadi 18 meter persegi di atas tanah 25 meter persegi.Â
Alasannya? Dengan ukuran lebih kecil, cicilan bulanan bisa ditekan hingga Rp 600 ribu, membuat kepemilikan rumah semakin mudah dijangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah.Â
Namun, kritik bermunculan dari berbagai kalangan, terutama generasi muda, yang menyebutnya sebagai "Subsi-DIE"---menyiratkan bahwa rumah subsidi seharusnya menjadi solusi jangka panjang, bukan sekadar tempat tinggal sementara yang kurang nyaman.
Dampak Sosial Rumah Subsidi Kecil
Meskipun tujuan utama dari kebijakan ini adalah agar lebih banyak orang bisa memiliki rumah, beberapa aspek sosial perlu dipertimbangkan:
1. Kesehatan Mental dan Kesejahteraan Â
  Studi menunjukkan bahwa ruang hunian yang terlalu kecil dapat meningkatkan stres dan kecemasan. Keluarga yang tinggal di ruang sempit sering menghadapi kurangnya privasi, yang dapat memengaruhi keharmonisan rumah tangga.
2. Overcrowding dan Kemungkinan Kawasan Kumuh Â