Saya masih ingat betul ketika pertama kali diterima bekerja puluhan tahun lalu---hati ini rasanya membuncah. Saat itu, target utama saya sangat jelas: punya rumah sendiri. Bukan di lokasi elit, bukan dengan cicilan mencekik, cukup rumah sederhana yang bisa saya bayar dari gaji bulanan sebagai pegawai baru.
Dan waktu itu, itu semua terasa masuk akal. Harga rumah belum melangit, gaji cukup stabil, dan yang lebih penting: kami hidup di era ketika masa depan masih bisa dipetakan dengan cukup yakin.Â
Hidup saat itu adalah soal mencicil milik---rumah, kendaraan, tanah, dan masa depan.
Tapi kini, saya menyaksikan sebuah realitas yang sangat berbeda. Generasi muda hari ini bukan lagi generasi yang mengejar milik, tetapi generasi yang berjuang bertahan.
Mencapai Cita di Usia Muda: Dulu Itu Mungkin
Usia 25 tahun, saya mulai mencicil rumah. Empat tahun kemudian, di usia 29, saya menjejakkan kaki di Tanah Suci untuk berhaji pertama kali. Tidak ada warisan, tidak ada jackpot. Hanya kerja keras dan sistem ekonomi yang masih masuk akal.Â
Tentu ada tantangan---tidak semua mudah---tapi semuanya terasa logis dan bisa diraih dengan kerja dan kesabaran.
Cita-cita di masa muda dulu adalah memiliki: rumah, kendaraan, dan pengalaman spiritual besar. Hari ini, semua itu seakan jadi kemewahan yang hanya bisa dicapai oleh sebagian kecil anak muda yang sangat beruntung.
Kenyataan Baru: Dunia yang Tak Lagi Sama
Pasca-2000-an, segalanya berubah cepat. Harga properti di kota-kota besar melesat tajam. Rasio harga rumah terhadap pendapatan mencapai 12--15 kali lipat, padahal pada era saya muda hanya sekitar 3--5 kali lipat. Upah naik perlahan, biaya hidup membubung tinggi, dan pasar kerja makin kompetitif.
Lulusan baru bersaing bukan hanya dengan sesama, tapi juga dengan ketidakpastian global.Â
Otomatisasi, digitalisasi, resesi, hingga gelombang PHK membuat mendapatkan pekerjaan saja sudah menjadi perjuangan tersendiri.
Hari ini, target banyak anak muda bukan lagi membeli rumah atau menyusun rencana jangka panjang, melainkan sekadar mempertahankan pekerjaan, kesehatan mental, dan harga diri di tengah realitas yang tidak menentu.
Dari Milik ke Makna: Bergesernya Orientasi Hidup
Saya paham mengapa banyak anak muda kini lebih memilih jalan-jalan keliling Asia Tenggara daripada mencicil rumah kecil di pinggiran kota. Dulu, saya mungkin bertanya-tanya, "Mengapa tak menabung saja untuk DP rumah?"
Tapi kini saya mengerti: mereka bukan malas atau boros, mereka hanya realistis.Â
Rumah impian itu kini terlalu jauh, terlalu berat untuk dijangkau dalam horizon waktu yang wajar.Â