Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Pensiunan Gaul Banyak Acara

Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kejutan dan Keputusan Berani Presiden Prabowo; Antara Keuntungan Ekonomi dan Kehancuran Lingkungan

10 Juni 2025   17:44 Diperbarui: 10 Juni 2025   17:44 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Foto dari Wikimedia Commons, Karya "Yusniar S.", diunggah dengan lisensi Creative Commons Attribution-Share Alike 4.0 International.


Sebuah Keputusan yang Menggemparkan

Pagi ini, kabar besar beredar. Presiden Prabowo Subianto resmi mencabut empat izin usaha tambang nikel di Raja Ampat. 

Langkah ini sontak menuai berbagai reaksi---pujian dari aktivis lingkungan dan keresahan dari industri tambang. Namun, di balik kebijakan tersebut, pertanyaan lebih besar muncul: "Apakah pencabutan izin ini akan dilakukan secara menyeluruh di daerah lain yang juga terdampak?"

Indonesia, sebagai salah satu penghasil nikel terbesar dunia, menghadapi dilema akut: menjaga keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan. 

 

Kasus Raja Ampat hanyalah permulaan dari perdebatan yang jauh lebih besar.

Luka-luka Tambang Nikel yang Menganga

Raja Ampat hanyalah satu titik dalam peta luka ekologis akibat tambang nikel. Di Morowali (Sulawesi Tengah), Pulau Obi (Maluku Utara), Wawonii (Sulawesi Tenggara), dan Pomalaa---jejak-jejak kerusakan lingkungan membentang luas. 

Hutan tropis gundul, tanah longsor, sungai yang memerah oleh limbah tailing, serta udara berdebu yang menyelimuti kampung-kampung adalah realitas sehari-hari.

Warga di sekitar tambang kehilangan mata pencaharian. Nelayan tak lagi bisa melaut karena laut tercemar. Petani gagal panen karena tanah tak lagi subur. Bahkan air bersih pun menjadi barang langka. Inilah wajah nyata dari pembangunan yang mengorbankan alam dan manusia.

Siapa yang Bertanggung Jawab?

Perusahaan tambang tentu memiliki tanggung jawab. Namun, bagaimana dengan mereka yang memberi izin? Mereka yang menandatangani dokumen legal yang membuka jalan bagi buldoser, excavator, dan dinamit masuk ke tanah-tanah leluhur? 

Apakah mereka sekadar "melaksanakan tugas", atau sejatinya turut andil dalam kejahatan terhadap bumi dan kemanusiaan?

Secara hukum, Indonesia belum memiliki mekanisme yang tegas untuk menghukum pejabat yang memberi izin tambang merusak. Kecuali terbukti korupsi, suap, atau pelanggaran administratif, mereka kerap lolos dari jerat hukum. Namun secara moral, publik semakin lantang menyebut mereka sebagai penjahat lingkungan.

Di dunia internasional, istilah ecocide atau kejahatan lingkungan besar mulai diperjuangkan untuk diakui sebagai kejahatan berat---setara dengan genosida dan kejahatan kemanusiaan. Indonesia pun perlu ikut mendorong kerangka hukum ini.

Ketika Suara Rakyat Dikalahkan Kuasa

Warga Wawonii pernah berdemo, mempertaruhkan keselamatan mereka demi menolak tambang. Mereka dikriminalisasi. Aktivis lingkungan dibungkam. Pemerintah daerah pun kerap memilih diam atau justru memihak korporasi. 

Di tengah situasi ini, pencabutan izin oleh Presiden Prabowo menjadi titik terang, namun belum cukup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun