Sebuah Keputusan yang Menggemparkan
Pagi ini, kabar besar beredar. Presiden Prabowo Subianto resmi mencabut empat izin usaha tambang nikel di Raja Ampat.Â
Langkah ini sontak menuai berbagai reaksi---pujian dari aktivis lingkungan dan keresahan dari industri tambang. Namun, di balik kebijakan tersebut, pertanyaan lebih besar muncul: "Apakah pencabutan izin ini akan dilakukan secara menyeluruh di daerah lain yang juga terdampak?"
Indonesia, sebagai salah satu penghasil nikel terbesar dunia, menghadapi dilema akut: menjaga keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan.Â
Â
Kasus Raja Ampat hanyalah permulaan dari perdebatan yang jauh lebih besar.
Luka-luka Tambang Nikel yang Menganga
Raja Ampat hanyalah satu titik dalam peta luka ekologis akibat tambang nikel. Di Morowali (Sulawesi Tengah), Pulau Obi (Maluku Utara), Wawonii (Sulawesi Tenggara), dan Pomalaa---jejak-jejak kerusakan lingkungan membentang luas.Â
Hutan tropis gundul, tanah longsor, sungai yang memerah oleh limbah tailing, serta udara berdebu yang menyelimuti kampung-kampung adalah realitas sehari-hari.
Warga di sekitar tambang kehilangan mata pencaharian. Nelayan tak lagi bisa melaut karena laut tercemar. Petani gagal panen karena tanah tak lagi subur. Bahkan air bersih pun menjadi barang langka. Inilah wajah nyata dari pembangunan yang mengorbankan alam dan manusia.
Siapa yang Bertanggung Jawab?
Perusahaan tambang tentu memiliki tanggung jawab. Namun, bagaimana dengan mereka yang memberi izin? Mereka yang menandatangani dokumen legal yang membuka jalan bagi buldoser, excavator, dan dinamit masuk ke tanah-tanah leluhur?Â
Apakah mereka sekadar "melaksanakan tugas", atau sejatinya turut andil dalam kejahatan terhadap bumi dan kemanusiaan?
Secara hukum, Indonesia belum memiliki mekanisme yang tegas untuk menghukum pejabat yang memberi izin tambang merusak. Kecuali terbukti korupsi, suap, atau pelanggaran administratif, mereka kerap lolos dari jerat hukum. Namun secara moral, publik semakin lantang menyebut mereka sebagai penjahat lingkungan.
Di dunia internasional, istilah ecocide atau kejahatan lingkungan besar mulai diperjuangkan untuk diakui sebagai kejahatan berat---setara dengan genosida dan kejahatan kemanusiaan. Indonesia pun perlu ikut mendorong kerangka hukum ini.
Ketika Suara Rakyat Dikalahkan Kuasa
Warga Wawonii pernah berdemo, mempertaruhkan keselamatan mereka demi menolak tambang. Mereka dikriminalisasi. Aktivis lingkungan dibungkam. Pemerintah daerah pun kerap memilih diam atau justru memihak korporasi.Â
Di tengah situasi ini, pencabutan izin oleh Presiden Prabowo menjadi titik terang, namun belum cukup.