Pertaruhan atas Kedaulatan Digital Indonesia
Pagi ini saya membuka berita daring sembari menyeruput kopi. Mata saya terpaku pada satu judul: "Khawatir Dikuasai Grab, Danantara Minat Beli Saham GoTo Jelang Merger". Judul yang biasa saja bagi sebagian orang, tetapi bagi saya---yang mengamati denyut ekonomi digital Indonesia---ini adalah alarm keras yang tidak bisa diabaikan.
Danantara, lembaga pengelola investasi nasional, disebut tengah menjajaki kemungkinan investasi di entitas gabungan hasil merger antara dua raksasa teknologi: GoTo (kebanggaan dalam negeri) dan Grab (perusahaan teknologi asal Singapura). Tujuannya? Mengantisipasi dominasi asing di sektor teknologi Indonesia.
Antara Peluang dan Ancaman
Dalam kacamata bisnis, merger ini tentu punya logika kuat. Persaingan ketat, pembakaran modal yang masif, dan tekanan untuk segera profit membuat kedua perusahaan harus mencari jalan keluar yang lebih berkelanjutan.Â
Merger menjadi pilihan strategis: efisiensi meningkat, tumpang tindih berkurang, dan nilai perusahaan bisa terdongkrak.
Namun, di balik peluang itu ada ancaman serius. Kita tahu, Grab bukanlah perusahaan Indonesia.Â
Ketika perusahaan teknologi asing memiliki kontrol atas layanan transportasi online, pengiriman makanan, hingga dompet digital yang digunakan jutaan warga Indonesia setiap hari, apakah kita benar-benar masih berdaulat di dunia digital?
Inilah yang jadi kekhawatiran utama pemerintah, dan inilah kenapa langkah Danantara menjadi sangat penting.
Danantara: Bukan Sekadar Investor, tapi Penjaga Kedaulatan
Langkah Danantara untuk masuk sebagai pemegang saham minoritas dalam entitas gabungan adalah strategi cerdas yang layak diapresiasi. Ia tidak datang sebagai pemodal semata, tetapi sebagai wakil kepentingan nasional.Â