Malam itu baru saja berlalu. Langit Muzdalifah kembali menjadi saksi bisu lautan manusia berselimut kain ihram, berteduhkan langit malam, berteman dzikir yang lirih namun tajam menembus ke langit tinggi.
Semalam, jutaan jemaah haji dari seluruh penjuru dunia baru saja melewati malam mabit di Muzdalifah.Â
Sebelumnya, siang hari mereka berdiri di padang Arafah—puncak ritual haji yang menjadi momentum agung pertemuant makhluk dengan Sang Khalik. Hari Arafah telah mereka lalui dengan air mata, doa-doa panjang, dan harapan akan ampunan serta pembebasan dari api neraka.
Kini, Idul Adha telah datang di tengah gema takbir yang mengalun. Namun, hati kita belum sepenuhnya lepas dari kesyahduan malam Muzdalifah:
sebuah malam yang begitu sederhana, namun menyimpan rasa rindu yang tak tergambarkan.
Kenangan yang Membekas: Muzdalifah 1994
Sebagian dari kita mungkin belum pernah hadir secara fisik di tanah suci. Namun kisah malam Muzdalifah tetap menggetarkan hati.Â
Apalagi bagi mereka yang pernah menjalaninya. Seperti saya—yang pertama kali berhaji dengan ONH Reguler pada tahun 1994. Malam itu menjadi pengalaman spiritual yang sulit dilupakan.
Berbeda dengan pengalaman saya saat kembali berhaji melalui ONH Plus tahun 1997, suasananya memang jauh lebih nyaman.Â
Tapi ruhnya, tidak sekuat saat pertama kali saya menginjak tanah suci dengan segala keterbatasan.
Mabit yang di Muzdalifah bukan sekadar tidur di padang terbuka, melainkan simbol kepasrahan mutlak kepada Allah. Semua status dunia ditanggalkan. Tak ada lagi pangkat, jabatan, atau fasilitas. Yang tersisa hanyalah makhluk yang berharap kepada Tuhannya—dalam hening yang syahdu dan pasrah yang menyentuh langit.
Bayangkan lautan manusia yang bersatu tanpa batas sosial. Tak ada jas mewah, tak ada kasur empuk. Hanya selembar kain ihram, beralaskan tanah, berselimut langit malam.Â
Tidak ada istana. Tidak ada gedung. Tidak ada keluarga di sisi. Namun entah mengapa, kedamaian terasa begitu sempurna.