Ibadah haji adalah impian banyak orang. Tapi seperti yang kita tahu, masa tunggu keberangkatan cukup panjang dan biayanya terus meningkat setiap tahun. Karena itu, memulai langkah sejak dini jadi hal yang sangat penting.Â
Kini, siapa sangka kalau menabung emas bukan hanya soal investasi, tapi juga bisa menjadi jalan menuju Tanah Suci.Â
Lewat Tabungan Emas Pegadaian, kita bisa perlahan-lahan mengumpulkan saldo emas yang nantinya bisa digunakan untuk booking kursi haji lebih awal. Pengalaman saya menjadi bukti nyata dari perjalanan panjang ini.
Ketika saya duduk di bangku SD pada awal 1970-an, saya sudah menyimpan koin-koin receh di sebuah kaleng tua di sudut rumah. Koin Rp 5, Rp 10, Rp 25, bahkan Rp 50 saya kumpulkan setiap hari, seakan menanam benih kecil demi masa depan.Â
Sementara uang kertas---hadiah ulang tahun atau THR---saya setor ke Tabungan Tabanas di bank. Pada tahun 1975, saldo saya menembus Rp 30.000. Saat itu, harga emas hanya sekitar Rp 2.250 per gram, dan saya memutuskan menukarkan sebagian tabungan menjadi 15 gram emas. Keputusan itu membuka gerbang petualangan finansial yang terus berlanjut.
Setelah pembelian emas pertama, saya tidak tinggal diam. Setiap kali ada uang lebih---baik dari orang tua, hasil kerja sampingan, atau THR---saya alokasikan sebagian untuk membeli emas tambahan di toko perhiasan.Â
Pada awal 1980-an, ketika gaji pertama tiba sebagai asisten dosen lepas, saya membeli lagi sekitar 5 gram. Begitu pula pada akhir dekade itu, saya menambah sekitar 10 gram emas ketika harga masih relatif terjangkau dibandingkan lonjakan kurs rupiah.
Sekolah Katolik swasta tempat saya belajar dulu mematok uang sekolah Rp 200 per bulan. Jika dihitung dalam emas 1975, itu setara dengan 0,09 gram. Angka kecil, tapi terasa berat di masa itu.Â
Kini, biaya sekolah swasta unggulan berkisar Rp 2.000.000 per bulan, yang setara 0,98 gram emas di tahun 2025 (harga emas sekitar Rp 2.047.782/g). Perjalanan dari 0,09 gram ke hampir 1 gram mencerminkan tantangan generasi berbeda, namun juga menegaskan betapa emas menjaga daya beli dari masa ke masa.
Tahun 1984 saya melanjutkan studi di Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR). Biaya masuk dan semester pertama mencapai Rp 200.000, jauh berbanding Rp 18.000 di PTN. Saat itu harga emas naik ke Rp 12.300/g, sehingga 16,3 gram emas dibutuhkan untuk membayar biaya di UNPAR, sementara PTN hanya memerlukan 1,5 gram.Â