Tahun 1989, saya menerima gaji pertama sebagai fresh graduate: Rp 450.000 per bulan, ditambah uang transportasi Rp 75.000. Jumlah yang terasa besar saat itu, terutama untuk anak muda yang baru saja menapak dunia kerja di sebuah bank nasional.Â
Harga emas kala itu berkisar Rp 18.500 per gram, artinya dengan total pendapatan Rp 525.000 saya bisa membeli sekitar 28 gram emas. Ini menjadi patokan daya beli pertama saya, dan diam-diam menjadi acuan dalam benak saya selama bertahun-tahun.
Tahun berikutnya, 1990, saya diterima dalam Management Development Program (MDP) yang diselenggarakan oleh bank tempat saya bekerja. Program ini menjadi semacam kawah candradimuka bagi calon pimpinan masa depan. Saya mendapatkan honor bulanan sebesar Rp 900.000, sementara harga emas naik menjadi sekitar Rp 21.500 per gram.Â
Daya beli saya terhadap emas tetap kuat---bahkan meningkat menjadi sekitar 42 gram emas per bulan. Saya merasa berada di jalur yang benar: karier sedang menanjak, dan daya beli saya pun ikut terdongkrak.
Ketika lulus dari MDP pada pertengahan 1991, saya diangkat sebagai Firstline Manager dengan gaji Rp 1.500.000 per bulan. Harga emas saat itu berada di kisaran Rp 22.000 per gram, dan saya bisa membawa pulang hampir 68 gram emas setiap bulan.Â
Tidak hanya memiliki tabungan emas yang berarti, saya juga bisa mencicil sebuah rumah kecil di pinggiran Jakarta dengan harga di bawah Rp 20 juta. Rumah itu saya bayar dengan gaji sendiri, tanpa bantuan keluarga, tanpa utang ke sana kemari---sebuah pencapaian yang saat ini mungkin terdengar seperti dongeng.
Namun waktu terus bergulir, dan saya menyaksikan sendiri bagaimana uang perlahan-lahan kehilangan kekuatannya. Mungkin nominalnya terus bertambah, tapi nilainya justru makin menyusut.Â
Daya beli kita terhadap kebutuhan pokok---termasuk terhadap emas---menurun secara perlahan tapi pasti.
Mari kita mundur sedikit ke awal 1980-an. Saat itu, UMR di Jakarta sekitar Rp 35.000 dan harga emas masih di kisaran Rp 7.000 per gram. Itu berarti, pekerja bergaji minimum saat itu bisa membeli sekitar 5 gram emas setiap bulan.Â
Sembilan tahun kemudian, di tahun 1989 ketika saya mulai bekerja, UMR naik jadi sekitar Rp 172.500 dan harga emas menjadi Rp 18.500. Hasilnya, daya beli UMR terhadap emas juga naik menjadi sekitar 9 gram.
Sayangnya, tren positif itu tidak berlanjut. Tahun 2025, UMR Jakarta melonjak jadi lebih dari Rp 5 juta, tepatnya Rp 5.067.381. Namun, harga emas pun meroket ke angka Rp 1.990.000 per gram. Hasilnya?Â
Dengan UMR sebesar itu, pekerja hanya mampu membeli sekitar 2,5 gram emas per bulan---bahkan lebih rendah dari daya beli tahun 1980 yang masih bisa menyentuh 5 gram.
Artinya? Dalam kurun waktu 45 tahun, daya beli pekerja terhadap emas justru terpangkas lebih dari separuh, meskipun secara nominal gaji naik ratusan kali lipat.
Dan ini belum bicara soal harga rumah. Jika dulu saya bisa membeli rumah kecil dengan 1-2 tahun gaji, sekarang harga rumah sederhana di pinggiran Jakarta saja bisa mencapai Rp 1,5 miliar atau lebih.Â
Dengan gaji Rp 5 juta per bulan, jangankan mencicil, membayar uang mukanya saja seperti mendaki gunung tanpa peta.
Saya menulis ini bukan untuk bernostalgia atau mengeluh, tapi sebagai pengingat keras bahwa angka tidak selalu mencerminkan nilai.Â
Dan bahwa menabung dalam bentuk emas, yang dulu mungkin terasa kuno, kini terasa semakin relevan. Emas tetap menjadi penyimpan nilai yang nyata di tengah guncangan harga dan inflasi yang tak terduga.
Penutup: Menakar Kesejahteraan dengan Jujur
Bukan berarti dulu semuanya mudah dan sekarang segalanya buruk. Namun, tantangan zaman berbeda, dan strategi finansial pun harus menyesuaikan.Â
Saya bersyukur bisa belajar dari masa lalu, dan kini ingin berbagi pelajaran itu untuk generasi yang lebih muda.Â
Sebab kisah gaji pertama dan segram emas itu tak sekadar memori pribadi---ia adalah cermin nilai waktu dan pergeseran kesejahteraan.
Penulis: Merza Gamal (Pensiunan Gaul Banyak Acara)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI