Senja belum benar-benar jatuh ketika Dara duduk sendirian di sudut kafe yang ramai. Di sekelilingnya, tawa pecah, obrolan menggema, dan deretan cangkir kopi berdenting riang di atas meja.Â
Namun dalam matanya yang sembab dan tatapan yang kosong ke arah layar ponsel, tersembunyi sesuatu yang tak terucap: kesepian.
Ia baru saja memposting foto dengan caption ceria: "Me time, finally! #grateful #blessed". Tak butuh waktu lama, beberapa notifikasi muncul---like, love, komentar manis. Tapi tak satu pun dari mereka benar-benar tahu bahwa hati Dara sedang sepi.Â
Ia baru putus cinta, jauh dari keluarganya, dan merasa tak punya siapa pun untuk benar-benar diajak bicara.
Ironis. Di tengah keramaian manusia dan hiruk-pikuk digital, Dara merasa sendirian.
Ketika Dunia Menjadi Semakin Ramai, Hati Justru Semakin Sepi
Fenomena kesepian di tengah keramaian bukanlah hal baru. Namun di era digital, kondisi ini menjadi semakin nyata dan meresahkan. Banyak orang seperti Dara---terhubung dengan ratusan teman di media sosial, tetapi tak punya satu pun yang benar-benar dekat.
Mengapa ini bisa terjadi?
Media sosial, pada dasarnya, diciptakan untuk mempertemukan dan menghubungkan manusia. Tapi kenyataannya, ia justru menciptakan ilusi koneksi.Â
Kita merasa dekat dengan seseorang karena melihat aktivitasnya setiap hari, namun tanpa benar-benar memahami isi hatinya. Kita mengobrol dalam chat, tapi tak pernah menatap mata. Kita memberi komentar, namun lupa menyentuh perasaan.
Pelarian yang Menenangkan Tapi Semu