Suatu sore di tengah gerimis, saya melintasi pusat perbelanjaan lama di Jakarta Selatan. Sebuah pemandangan menarik perhatian: gerai KFC tutup, pintunya digembok, dan papan logonya mulai kusam.
Di kaca tertempel kertas pengumuman sederhana: "Mohon maaf, gerai ini sudah tidak beroperasi."
Saya tertegun. Gerai ini dulunya ramai dikunjungi, menjadi tempat langganan makan siang keluarga dan para pekerja kantoran di sekitarnya.
Namun beberapa hari kemudian, saya menyaksikan hal sebaliknya di daerah Ciputat.
Sebuah gerai CFC (California Fried Chicken) baru saja buka, lengkap dengan spanduk "Promo Grand Opening - Ayam Kombo Hemat Rp19.900!"
Antreannya mengular, sebagian besar anak-anak muda, ojek online, hingga ibu rumah tangga yang membawa anak-anak.
Saya pun bertanya dalam hati:
Mengapa CFC, merek lokal yang dulu hampir tenggelam, kini justru menggeliat dan berkembang di saat KFC menutup banyak gerai?
Tahun Berdarah Bagi KFC
KFC di Indonesia dikelola oleh PT Fast Food Indonesia Tbk (FAST), dan tahun 2024 bukan sekadar tahun sulit, tapi tahun berdarah bagi perusahaan ini.
Kerugian FAST membengkak menjadi Rp796,71 miliar, naik drastis 91,67% dari tahun 2023 yang sudah rugi Rp415,64 miliar.
Pendapatan juga anjlok: dari Rp5,93 triliun (2023) menjadi hanya Rp4,87 triliun (2024) atau turun 17,84%.
Penurunan ini merata di semua lini:
- Makanan dan minuman: Rp5,9 triliun Rp4,85 triliun
- Komisi atas penjualan konsinyasi: Rp24 miliar Rp19,57 miliar
- Pendapatan layanan antar: Rp2,73 miliar Rp1,91 miliar
Tak hanya itu, perusahaan juga memangkas jumlah karyawan secara besar-besaran, yakni sebanyak 2.883 orang sepanjang 2024.
(Sumber: CNN Indonesia, DetikFinance, Kontan, Bisnis.com)
Sementara Itu, CFC Makin Percaya Diri