Sore itu di pekan lalu, angin dari jendela yang setengah terbuka membelai buku-buku di rak kerja saya. Di layar laptop, berita keuangan dari berbagai belahan dunia saling berlomba menampilkan angka, grafik, dan prediksi.Â
Namun, satu hal mencuri perhatian saya: rupiah berpotensi menguat signifikan terhadap dolar AS hingga akhir tahun ini.
Bukan hanya satu, melainkan beberapa nama besar dari dunia keuangan global yang melempar proyeksi positif terhadap masa depan rupiah.Â
Sebagai seorang pengamat dan penulis yang gemar membaca pergerakan ekonomi dari sisi cerita dan dinamika global, saya tertarik menyelami lebih dalam: apakah optimisme ini realistis, atau hanya bias analis yang terlalu berharap pada pasar Asia yang bangkit?
Angka-angka Optimisme: Dari Singapura ke New York
Mari kita mulai dari fakta-fakta yang mendasari antusiasme pasar.
TD Securities, lembaga investasi ternama yang berbasis di Singapura, menyebutkan bahwa rupiah memiliki peluang menguat lebih dari 4% dari level terakhir di Rp16.440 per dolar AS, menuju kisaran Rp15.700-an hingga akhir tahun. Mereka menilai kinerja rupiah saat ini masih "underperform" dibandingkan mata uang Asia lainnya seperti won Korea atau baht Thailand. Ini membuka ruang koreksi positif.
Sementara itu, ING Financial Market, institusi keuangan global yang berbasis di New York, bahkan lebih optimistis. Menurut mereka, level Rp15.200/USD bukanlah mimpi di siang bolong. Mereka meyakini bahwa saat pasar global mulai mereda dari tekanan suku bunga tinggi dan ketidakpastian geopolitik, investor akan kembali melirik aset negara berkembang, termasuk Indonesia.
Namun, di sisi lain, Citigroup Global Market menawarkan pandangan yang lebih membumi: rupiah akan menguat ke kisaran Rp16.000/USD pada tahun depan, menunjukkan bahwa pemulihan akan terjadi secara bertahap, bukan dengan lompatan besar.
Menelaah Harapan dan Kenyataan