Di tengah arus digitalisasi global yang semakin deras, sistem pembayaran menjadi salah satu tulang punggung ekonomi digital. Tapi siapa sangka, di jantung Eropa yang selama ini dianggap sebagai mercusuar pasar bebas dan kemajuan digital, justru terdengar jeritan keras dari para pelaku usaha ritel.
Menurut laporan Reuters, 14 Mei 2025, para peritel di Eropa, baik online maupun offline, kini secara kompak mendesak regulator Uni Eropa untuk mengambil tindakan tegas terhadap dominasi dua raksasa pembayaran asal Amerika Serikat: Visa dan Mastercard.Â
Keluhan utama mereka? Biaya transaksi kartu yang dianggap terlalu tinggi dan dikenakan tanpa transparansi yang memadai. Sistem yang semestinya mempermudah, justru dianggap menekan, dan pelan-pelan menjadi bentuk lain dari ketergantungan struktural ekonomi digital terhadap pemain global tertentu.
Saking geramnya, para pelaku industri ritel mendorong percepatan adopsi alternatif seperti euro digital dan sistem pembayaran non-kartu untuk mengurangi ketergantungan terhadap Visa dan Mastercard.Â
Mereka menyadari, tanpa kedaulatan dalam sistem pembayaran, maka keberdaulatan ekonomi hanyalah ilusi.
Indonesia dan Jalan Mandiri
Di saat Eropa menjerit, Indonesia justru melangkah ke arah sebaliknya. Kita mulai berdiri lebih tegak dengan penguatan sistem pembayaran nasional melalui QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) dan GPN (Gerbang Pembayaran Nasional).Â
Dua inisiatif ini bukan sekadar proyek teknologi, tetapi simbol dari semangat kedaulatan digital dan keuangan.
Sayangnya, langkah ini mendapat tentangan. United States Trade Representative (USTR) dalam laporannya menilai kebijakan QRIS dan GPN terlalu proteksionis karena menghalangi dominasi sistem pembayaran internasional seperti Visa dan Mastercard.Â
Bahkan, kebijakan ini menjadi salah satu alasan diberlakukannya tarif bea masuk tinggi terhadap sejumlah produk ekspor Indonesia, dalam lanjutan "Tariff Reinstatement Policy" ala Trump 2025.
Namun, apakah kita harus tunduk?
Buku yang Lahir dari Keprihatinan
Dari keprihatinan ini, saya menulis buku "Menjaga Kedaulatan Digital dan Sistem Pembayaran Nasional", sebagai bentuk kepedulian sekaligus ajakan untuk memahami betapa pentingnya kemandirian di bidang ini.Â
Buku ini membedah dinamika digitalisasi, penetrasi korporasi global, potensi ancaman terhadap sistem keuangan nasional, dan bagaimana langkah Indonesia bisa menjadi model pembangunan sistem pembayaran yang sehat dan inklusif.