Saya masih ingat dengan jelas satu momen yang terjadi lebih dari satu dekade lalu. Seorang rekan kerja senior, yang dikenal berwibawa, berprestasi, dan dihormati di instansinya, memasuki masa pensiun.Â
Hari perpisahannya penuh haru. Banyak yang memberikan pidato, memberikan cenderamata, bahkan istri dan anak-anaknya hadir penuh bangga. Kala itu, semua sepakat: beliau sukses secara karier, sukses secara materi, dan pasti akan menikmati masa pensiun dengan bahagia.
Namun, beberapa tahun kemudian, saya mendapat kabar yang cukup mengejutkan. Beliau jatuh sakit, cukup parah, dan kabarnya kesulitan membiayai pengobatan. Rekening deposito yang dulu gemuk, aset properti yang dulu mengesankan, bahkan beberapa unit usahanya yang sempat dibanggakan, semuanya perlahan lenyap. Kabar itu membuat saya termenung.
Apa yang terjadi?
Bukan Soal Uang Semata
Pengalaman itu menjadi pelajaran besar bagi saya. Ternyata, melimpahnya dana pensiun bukanlah jaminan hidup bahagia di masa pensiun. Ada hal yang sering dilupakan, namun justru sangat krusial: kesiapan mental dan spiritual.
Saat kita masih aktif bekerja, hidup terasa penuh. Jadwal padat, rapat di sana-sini, telepon tak berhenti berdering, dan banyak orang bergantung pada keputusan kita. Ada kebanggaan, ada rasa dihargai, dan tidak sedikit yang merasa identitas dirinya melekat erat pada jabatan atau perannya.
Ketika semua itu tiba-tiba hilang pada hari pertama pensiun, sebagian dari kita mungkin merasa seperti ditarik keluar dari panggung tanpa aba-aba.Â
Tak ada lagi yang menanti perintah. Tak ada yang menyapa setiap pagi dengan "Siap, Pak!". Tak ada lagi staf yang dengan sigap mencatat setiap arahan kita.
Inilah yang dikenal dengan post power syndrome --- kondisi kejiwaan yang umum dialami oleh mereka yang kehilangan jabatan atau kekuasaan yang selama ini menjadi sumber harga diri dan eksistensinya. Dalam bahasa lain, disebut juga retirement syndrome. Dan meskipun tak terlihat secara kasat mata, dampaknya sangat nyata.
Post power syndrome bisa membuat seseorang merasa kosong, tak berguna, bahkan kehilangan arah.Â
Rasa syukur menghilang, digantikan dengan penyesalan atau amarah tak berdasar. Yang dulu terbiasa sibuk, kini merasa sepi. Yang dulu dihormati, kini merasa diabaikan.