Di tengah dinamika global yang semakin kompleks, negara-negara Asia Tenggara sedang menenun masa depan baru dalam sistem keuangan digital dunia. Suara langkah mereka semakin bergema, tak lagi bergantung pada satu mata uang adidaya.Â
Sebaliknya, mereka mulai membangun sistem mereka sendiri, yang lebih cepat, inklusif, dan berdaulat. Di sinilah Proyek Nexus dan inisiatif Local Currency Transaction (LCT) hadir sebagai gebrakan monumental.
Tak seperti biasanya, berita besar ini tak datang dari Washington atau Brussels. Kali ini, dari jantung Asia Tenggara, kita menyaksikan bagaimana negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia, perlahan-lahan mulai "membuang dominasi dolar AS" dalam transaksi regional.Â
Bukan dalam artian membenci dolar, tapi lebih kepada menyadari bahwa kemandirian finansial dan teknologi adalah keniscayaan.
Mengenal Proyek Nexus: Revolusi Diam-Diam yang Menghubungkan Dunia
Proyek Nexus adalah inisiatif dari Bank for International Settlements (BIS) Innovation Hub, sebuah proyek ambisius yang bertujuan menghubungkan sistem pembayaran instan domestik (Instant Payment System/IPS) lintas negara, sehingga masyarakat bisa mengirim uang antarnegara dengan cara secepat dan semudah transfer domestik.
Bayangkan: seorang pelaku UMKM di Yogyakarta bisa mengirim pembayaran ke supplier di Bangkok hanya dengan memindai QR code, dan uang diterima dalam hitungan detik---tanpa harus melewati dolar AS sebagai perantara, tanpa biaya tinggi, dan tanpa friksi birokrasi perbankan konvensional.
Indonesia tak tinggal diam. Melalui Bank Indonesia (BI), Gubernur Perry Warjiyo menegaskan bahwa QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) antarnegara dan sistem Retail Fast Payment akan menjadi tulang punggung konektivitas regional ini. Inisiatif LCT pun digaungkan, memungkinkan transaksi lintas batas menggunakan mata uang lokal seperti rupiah, baht, ringgit, atau dong.
Dolar AS dan Ketakutan Lama yang Tak Lagi Ditakuti
Selama puluhan tahun, transaksi lintas negara---bahkan sesama negara ASEAN---harus melewati dolar AS. Situasi ini menjadikan AS sebagai "penjaga gerbang" uang dunia, yang bisa mengawasi, memungut biaya, bahkan menjatuhkan sanksi finansial kapan pun mereka mau. Namun, sistem baru ini perlahan meruntuhkan hegemoni tersebut.
Tak mengherankan jika Washington mulai gerah. Dalam beberapa tahun terakhir, melalui Perwakilan Dagang AS (USTR), pemerintah AS sering kali menyuarakan "keprihatinan" atas sistem pembayaran nasional Indonesia seperti GPN (Gerbang Pembayaran Nasional) dan QRIS, yang dianggap menutup akses perusahaan fintech asal Amerika. Ancaman terselubung berupa peningkatan tarif impor atau tekanan diplomatik pun mulai bermunculan.