Kala sebagian orang masih memperdebatkan masa depan politik dan estafet kepemimpinan, ada sinyal lain yang pelan tapi pasti mulai memijar merah: pertumbuhan ekonomi Indonesia yang kembali terperosok di bawah 5 persen.
Angka resmi yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, pada kuartal I-2025, ekonomi Indonesia hanya tumbuh 4,87% secara tahunan (year-on-year).Â
Rendah, bahkan lebih rendah dari ekspektasi para ekonom yang sebelumnya sudah pesimistis. Yang membuatnya makin mencemaskan: ini terjadi di tengah momentum Ramadan dan Idulfitri---periode yang biasanya mendorong konsumsi domestik.
Jika kita mengecualikan dua tahun kelabu akibat pandemi (2020--2021), maka capaian kuartal ini adalah yang terendah sejak 2009. Artinya, bukan hanya perlambatan, tapi seperti ada yang lebih dalam: pelemahan struktural.
Tiga Bidang yang Paling Merasakan: Sektor Riil, Fiskal, dan Masyarakat
1. Sektor Riil: Detak Jantung Ekonomi yang Lemah
UMKM---penopang utama ekonomi rakyat---terpukul. Daya beli belum pulih sepenuhnya, ditambah kenaikan harga bahan baku dan ongkos distribusi. Industri manufaktur pun stagnan. Sektor yang dulu jadi motor pertumbuhan, kini justru menyumbang angka pengangguran baru.
Ada kekhawatiran bahwa kegiatan produksi melambat karena permintaan tak sekuat yang dibayangkan. Proyek-proyek besar pun tak lagi semeriah dulu. Bahkan sektor properti mulai terdampak, yang selama ini menjadi indikator psikologis kepercayaan kelas menengah terhadap masa depan ekonomi.
2. Fiskal: Berat di Beban, Minim dalam Gerak
Belanja pemerintah---yang selama ini diandalkan untuk memutar roda ekonomi---terlihat tak maksimal di awal tahun ini. Bisa jadi karena keterlambatan penyaluran anggaran atau karena prioritas yang belum tuntas disesuaikan.
Namun yang jadi sorotan utama: utang pemerintah makin menumpuk. Per April 2025, total utang sudah menembus Rp8.300 triliun, dengan sebagian besar dalam bentuk Surat Berharga Negara yang akan jatuh tempo bertahap dalam beberapa tahun ke depan. Beban bunga utang makin besar, dan ruang fiskal untuk belanja produktif makin sempit. Ini situasi yang tidak ideal jika pertumbuhan ekonomi terus melambat.
3. Sosial Ekonomi: Rakyat Kian Tersudut
Dampak ke masyarakat makin nyata. Harga bahan pokok naik, daya beli menurun, dan lapangan kerja baru tidak tumbuh sesuai harapan. Kelompok rentan---buruh harian, pekerja informal, ibu rumah tangga, lansia tanpa jaminan sosial---menanggung beban terberat.
Sinyal-sinyal ini mulai menciptakan keresahan sosial yang sayup terdengar. Anak muda mulai menggunakan tagar: #IndonesiaGelap. Ada pula yang satir dan getir: #KaburAjaDulu---menggambarkan perasaan frustrasi, bahkan keinginan untuk mencari peluang di luar negeri karena merasa kehilangan harapan di tanah sendiri.
Tantangan dan Peluang: Apakah Kita Masih Bisa Membalikkan Keadaan?