Di tengah gemuruh persaingan ekonomi yang semakin tak bertepi, obsesi terhadap laba sebagai indikator kinerja utama telah membentuk ulang cara organisasi mengelola sumber dayanya---terutama manusia.Â
Efisiensi, produktivitas, dan penghematan biaya menjelma sebagai mantra suci. Namun kita mesti bertanya: semua itu dibayar dengan apa?
Manusia dalam Sistem yang Mengedepankan Laba
Sejak Revolusi Industri, laba selalu menjadi bagian dari denyut nadi ekonomi. Namun, di era digital yang dipacu algoritma dan kecerdasan buatan, optimalisasi laba bukan sekadar tujuan---melainkan ideologi.
Prinsip "melakukan lebih dengan lebih sedikit" kini menemukan bentuk ekstremnya dalam otomatisasi. AI menggantikan tenaga manusia, baik untuk pekerjaan repetitif maupun kognitif. Dari chatbot layanan pelanggan hingga pengambilan keputusan algoritmik di HR dan keuangan---sentuhan manusia semakin jarang.
Bagi perusahaan dan investor, ini ideal: biaya rendah, imbal hasil tinggi, pertumbuhan yang bisa diskalakan.
Namun, ada harga yang kerap tak terlihat: tergerusnya martabat manusia.
Ketika manusia direduksi menjadi KPI, pusat biaya, dan metrik produktivitas, ada sesuatu yang hakiki yang hilang. Ketidakamanan kerja meningkat. Kesehatan mental terganggu. Budaya kerja menjadi transaksional. Loyalitas memudar. Kreativitas menurun. Burnout merajalela.
Ini bukan hanya soal etika. Ini juga masalah strategi jangka panjang.
Sumber daya manusia bukan sekadar beban biaya yang perlu ditekan. Ia adalah sumber inovasi, empati, ketahanan, dan kecerdasan kolektif---semua kualitas yang tak bisa digantikan AI.
Bahasa Uang dan Penjajahan Nalar