Mohon tunggu...
Merza Gamal
Merza Gamal Mohon Tunggu... Pensiunan Gaul Banyak Acara

Penulis Buku: - "Spiritual Great Leader" - "Merancang Change Management and Cultural Transformation" - "Penguatan Share Value and Corporate Culture" - "Corporate Culture - Master Key of Competitive Advantage" - "Aktivitas Ekonomi Syariah" - "Model Dinamika Sosial Ekonomi Islam" Menulis untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman agar menjadi manfaat bagi orang banyak dan negeri tercinta Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Di Manakah Martabat Pekerja sebagai Manusia Ketika Laba Menjadi Segalanya?

1 Mei 2025   21:03 Diperbarui: 3 Mei 2025   07:18 410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pekerja. (Freepik via Kompas.com)

Di tengah gemuruh persaingan ekonomi yang semakin tak bertepi, obsesi terhadap laba sebagai indikator kinerja utama telah membentuk ulang cara organisasi mengelola sumber dayanya---terutama manusia. 

Efisiensi, produktivitas, dan penghematan biaya menjelma sebagai mantra suci. Namun kita mesti bertanya: semua itu dibayar dengan apa?

Gambar ilustrasi,  Sumber: Dokumentasi pribadi Merza Gamal diolah dengan Generative AI 
Gambar ilustrasi,  Sumber: Dokumentasi pribadi Merza Gamal diolah dengan Generative AI 

Manusia dalam Sistem yang Mengedepankan Laba

Sejak Revolusi Industri, laba selalu menjadi bagian dari denyut nadi ekonomi. Namun, di era digital yang dipacu algoritma dan kecerdasan buatan, optimalisasi laba bukan sekadar tujuan---melainkan ideologi.

Prinsip "melakukan lebih dengan lebih sedikit" kini menemukan bentuk ekstremnya dalam otomatisasi. AI menggantikan tenaga manusia, baik untuk pekerjaan repetitif maupun kognitif. Dari chatbot layanan pelanggan hingga pengambilan keputusan algoritmik di HR dan keuangan---sentuhan manusia semakin jarang.

Bagi perusahaan dan investor, ini ideal: biaya rendah, imbal hasil tinggi, pertumbuhan yang bisa diskalakan.

Namun, ada harga yang kerap tak terlihat: tergerusnya martabat manusia.

Ketika Manusia Menjadi Angka

Ketika manusia direduksi menjadi KPI, pusat biaya, dan metrik produktivitas, ada sesuatu yang hakiki yang hilang. Ketidakamanan kerja meningkat. Kesehatan mental terganggu. Budaya kerja menjadi transaksional. Loyalitas memudar. Kreativitas menurun. Burnout merajalela.

Ini bukan hanya soal etika. Ini juga masalah strategi jangka panjang.

Sumber daya manusia bukan sekadar beban biaya yang perlu ditekan. Ia adalah sumber inovasi, empati, ketahanan, dan kecerdasan kolektif---semua kualitas yang tak bisa digantikan AI.

Bahasa Uang dan Penjajahan Nalar

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun