Dulu, suara gemerincing logam di pasar-pasar tradisional menjadi musik latar yang akrab di telinga.
Di kios-kios kecil berlampu temaram, para pedagang emas menggoda pembeli dengan kilauan cincin, kalung, dan lempengan kecil emas murni.
Emas adalah milik semua orang---bukan hanya orang kaya, tapi juga tukang sayur, guru, hingga petani yang sabar menyisihkan rezeki mereka sedikit demi sedikit. Memiliki emas berarti memiliki rasa aman.
Kini, suasana itu perlahan berubah.
Emas fisik tak lagi semudah dulu ditemukan dalam genggaman rakyat kecil. Transaksi beralih ke dunia maya---ke rekening digital, ke akun virtual yang menjanjikan "simpanan emas" yang nyaris tak tersentuh.
Pergeseran ini semakin terasa dengan kehadiran Bullion Bank Indonesia, yang resmi diluncurkan pada 14 Februari 2025.
Bank ini dirancang untuk menjadi pusat transaksi emas nasional, mendorong Indonesia berperan lebih besar di pasar emas dunia.
Namun, perubahan ini juga membawa pertanyaan baru: ke mana emas rakyat sebenarnya pergi?
Dari Remahan WA Menuju Realitas Pasar
Baru-baru ini, dua tangkapan layar percakapan WhatsApp ramai diperbincangkan. Isi percakapan itu mengungkapkan keresahan banyak orang: stok emas kecil (di bawah 5 gram) semakin sulit ditemukan di toko-toko, harga emas fisik melejit, dan proses membeli emas kecil menjadi lebih ribet.
Ini bukan sekadar keluhan tanpa dasar.
Data dari Asosiasi Pedagang Emas Indonesia (APEI) menunjukkan bahwa sepanjang kuartal pertama 2025:
- Volume perdagangan emas fisik ritel menurun sebesar 28% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
- Harga premi (selisih antara harga pasar dan harga jual ritel) untuk emas batangan 1 gram melonjak dari rata-rata Rp30.000 menjadi Rp95.000 per gram.
- Pasokan emas kecil (1-5 gram) mengalami kelangkaan hingga 35% di wilayah Jabodetabek dan kota besar lainnya.